REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bagi dr Yenny Rachmawati, Sp.D.V.E, hari-hari pertama di Gaza adalah ujian mental. Relawan EMT ke-3 Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) tersebut mendengarkan suara bom, drone, dan tembakan sebagai 'musik' yang mengiringi malam-malamnya.
“Di malam pertama, saya sampai berpegangan tangan dengan dokter Leny dan kami hanya bisa saling menguatkan, menyerahkan semuanya kepada Allah,” ujar dia.
Hari demi hari, mereka mulai terbiasa dengan kondisi tersebut. Ketika ledakan terjadi dekat rumah sakit, jantung pun berdegup kencang. “Tapi pelayanan tetap jalan. Tak ada pilihan lain,” ujar dia.
Dari Gaza, Yenny pun belajar sabar dan syukur. “Saya melihat dokter-dokter lokal tetap bekerja profesional walau lapar, digaji minim dan hidup dalam ancaman. Mereka luar biasa," ucapnya.
Dokter Yenny pun melihat dokter-dokter dari berbagai negara seperti dari Mesir, Inggris, Amerika Serikat (AS), Pakistan, Jordania, Australia, Spanyol, yang datang dengan hati, bukan hanya keterampilan. “Mereka bilang, sudah jatuh cinta dengan Gaza dan ingin tinggal lebih lama,” kata Yenny.
