REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan putusan Majelis Hakim terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota legislatif hasil Pemilu 2019. ICW menilai, vonis itu menjadi antiklimaks dari upaya panjang penegakan hukum dalam kasus suap yang menyeret nama Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Harun Masiku dari PDIP.
Dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (26/7/2025), ICW menyoroti putusan hakim yang menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan. Putusan itu dinilai memperlihatkan kelemahan dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang hanya mengatur larangan perintangan pada tahapan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
“Putusan hakim yang menyebut Hasto Kristiyanto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan bukan semata-mata dikarenakan tidak terjadinya perbuatan berupa perintah untuk merendam handphone, tetapi lebih dikarenakan belum dimulainya tahapan penyidikan yang dalam pandangan hakim ditandai dengan dikeluarkannya surat perintah penyidikan (sprindik),” ujar Koordinator ICW, Almas Sjafrina.
ICW juga menilai bahwa penghilangan alat bukti dan pelarian Harun Masiku harus dilihat sebagai bagian dari perintangan penegakan hukum. Perintah kepada Harun untuk merendam ponsel dan melarikan diri diduga kuat terjadi pasca-Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Wahyu Setiawan pada 8 Januari 2020. Namun karena belum adanya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), hakim memutuskan tidak ada unsur perintangan.