Rabu 10 Sep 2025 16:55 WIB

MUI Diminta Keluarkan Fatwa Soal Penghasilan Menteri-Wamen Rangkap Jabatan

Celios meminta adanya fatwa MUI sebagai sebuah panduan syariat.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Foto: Dok. MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (Celios) mengajukan permohonan fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai penghasilan pejabat negara yang belakangan ini menuai atensi publik. Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan Nomor 128/PUU- XXIII/2025.

Isinya menegaskan, menteri atau wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di suatu badan usaha milik negara (BUMN). Namun hingga saat ini, lanjut Media Wahyudi, larangan tersebut belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah. Dalam arti, belum ada menteri maupun wakil menteri yang mengundurkan diri dari jabatan komisaris BUMN.

Baca Juga

"Putusan MK jelas melarang rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Namun, hingga kini larangan itu belum dijalankan. Kami meminta Fatwa MUI agar umat Islam, khususnya pejabat negara, dapat menempatkan amanah publik di atas kepentingan pribadi," kata Wahyudi kepada Republika, Rabu (10/9/2025).

Menurut dia, isu rangkap jabatan tidak sekadar mengenai hal administrasi, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral pejabat negara. Dalam hal ini, Wahyudi mengatakan, MK telah menjalankan tugasnya.

"Tokoh agama juga bisa terlibat untuk menjaga etika pejabat negara," ujar Wahyudi.

Dalam suratnya yang ditujukan kepada MUI, Celios memohon penjelasan dan fatwa dari lembaga keislaman itu mengenai hal berikut.

Pertama, bagaimana hukum penghasilan atau honorarium yang diterima oleh Menteri dan Wakil Menteri dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN, mengingat larangan tersebut telah diputuskan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi?

Kedua, apakah penghasilan tersebut dinilai halal, syubhat, atau haram menurut syariat Islam?

Ketiga, bagaimana sebaiknya umat Islam, khususnya pejabat negara, menyikapi hal ini agar selaras dengan prinsip keadilan, amanah, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara?

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

(QS. Ali 'Imran ayat 159)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement