
Oleh : Dina Y Sulaeman, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang KTT PBB, 23 September 2025, sontak memancing perhatian.
“Kita harus menjamin status kenegaraan Palestina tapi Indonesia juga menyatakan bahwa jika Israel mengakui kemerdekaan dan kenegaraan Palestina, Indonesia akan langsung mengakui negara Israel, dan kita akan menjamin keamanan Israel,” kata Prabowo.
Pernyataan ini terdengar sebagai tawaran diplomasi kondisional yaitu seolah ada pintu yang bisa dibuka jika syarat dipenuhi. Ada beberapa kemungkinan maksud di balik pernyataan ini.
Pertama, mungkin Prabowo ingin memberi tekanan moral kepada Israel, agar entitas mau menerima adanya negara Palestina.
Tapi, apa gunanya memberi tekanan moral, ketika beberapa hari sebelumnya, Netanyahu sudah secara terbuka mengatakan tidak mau ada negara Palestina, sambil terus membombardir Gaza?
Kedua, bisa jadi ini refleksi dari sikap praktis Prabowo, yang sejak awal kampanye internasionalnya menekankan pentingnya menghentikan perang dan bencana kemanusiaan di Gaza, sehingga jalan kompromi lebih penting ketimbang retorika kosong.
Tapi, bukankah dua tahun ini seruan komunitas internasional, resolusi Majelis Umum PBB, dan vonis Mahkamah Internasional, agar perang segera dihentikan, tak pernah dipedulikan Israel?
Ketiga, pidato itu juga bisa dibaca sebagai upaya menjaga citra Indonesia di panggung global: tampil sebagai negara besar yang rasional, moderat, dan “netral,” dengan berlindung di balik frasa ‘kebijakan luar negeri bebas aktif’.
Di sinilah kritik patut diajukan.
Lihat postingan ini di Instagram