Jumat 03 Oct 2025 11:50 WIB

Pola Makan Nabati Dinilai Kunci Atasi Krisis Iklim dan Kesehatan Global

EAT-Lancet ungkap perubahan kecil bisa cegah jutaan kematian.

Rep: Lintar Satria / Red: Friska Yolandha
Ilustrasi makan. Ade Rai berbagi tips agar perut tdak buncit.
Foto: Dok Republika
Ilustrasi makan. Ade Rai berbagi tips agar perut tdak buncit.

REPUBLIKA.CO.ID, POSTDAM -- Perkumpulan ilmiah EAT-Lancet Commission mengungkapkan, hanya dengan perubahan pola makan dunia dapat menghindari 15 juta kematian setiap tahun. Pola makan berbasis sayuran dan buah-buahan juga dapat menurunkan emisi pertanian hingga 15 persen.

EAT-Lancet Commission merupakan perkumpulan peneliti dari berbagai disiplin ilmu, seperti nutrisi, kesehatan, pertanian, keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan kebijakan. Komisi ini dibentuk melalui kolaborasi antara EAT, yayasan nirlaba global yang bertujuan mengubah sistem pangan dunia, dengan jurnal medis The Lancet.

Baca Juga

Penelitian terbaru komisi ini menunjukkan, tanpa perubahan substansial dalam sistem pangan global, perubahan iklim tidak dapat dihindari, meskipun dunia berhasil melakukan transisi energi.

“Bila kita tidak beralih dari jalur pangan tidak berkelanjutan saat ini, maka kita akan gagal memenuhi agenda iklim, agenda keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan. Kita akan gagal mencapai itu semua,” kata salah satu penulis penelitian sekaligus Kepala Potsdam Institute for Climate Impact Research Johan Rockström, Jumat (3/10/2025).

Direktur bidang kesejahteraan dan nutrisi Harkin Institute for Public Policy and Citizen Engagement, Adam Shriver, mengatakan laporan pertama Komisi EAT-Lancet pada 2019 dianggap “studi tengara yang benar-benar monumental.” Laporan itu berani membahas reformasi sistem pangan dengan mempertimbangkan kesehatan manusia dan lingkungan secara terintegrasi.

Laporan pertama EAT-Lancet mengusulkan “pola makan dunia” yang berpusat pada biji-bijian, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, dan legumes. Laporan terbaru tetap menekankan pentingnya pola makan berbasis nabati, namun menambahkan agar kesehatan tetap terjaga dan emisi berkurang, masyarakat sebaiknya juga mengonsumsi satu porsi protein hewani dan susu per hari, dengan membatasi daging merah hanya satu kali per pekan.

Pola makan ini sangat penting bagi masyarakat negara kaya yang paling banyak berkontribusi terhadap pemanasan global dan memiliki lebih banyak pilihan makanan.

Biasanya, rekomendasi pola makan didasarkan pada data kesehatan untuk mencegah penyakit seperti diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, bukan pada kriteria lingkungan. Para peneliti EAT-Lancet Commission menegaskan, kesehatan bumi dan kesehatan manusia sesungguhnya saling selaras.

Rockström menyebut, kesimpulan dari dua penelitian yang berjarak enam tahun tampak serupa, namun penelitian terbaru lebih meyakinkan karena ilmu pangan berkembang pesat dengan penelitian besar dan analisis yang semakin baik.

“Makanan adalah salah satu pilihan paling personal yang dapat diambil seseorang. Komponen kesehatan menyentuh hati semua orang,” kata Rockström.

Namun, ia mengakui mengatasi tantangan global tidaklah sederhana. Meski begitu, langkah individu semakin jelas: mengurangi konsumsi daging tanpa benar-benar menghapusnya dari pola makan sehari-hari.

“Masyarakat mengidentifikasi diri mereka dengan apa yang mereka makan, dan pola makan yang ketat dapat menakutkan sebagian orang. Tapi sedikit perubahan dapat membantu,” ujar peneliti Project Drawdown, Emily Cassidy, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Para peneliti juga memperluas analisis mereka mengenai perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca dengan memasukkan faktor-faktor seperti keanekaragaman hayati, penggunaan lahan, kualitas air, dan polusi pertanian. Mereka menyimpulkan, sistem pangan merupakan kontributor utama yang membawa bumi mendekati ambang batas layak huni.

Profesor sistem pangan di Arizona State University, Kathleen Merrigan, yang juga tidak terlibat dalam penelitian itu, menilai laporan EAT-Lancet memiliki cakupan sangat komprehensif.

Menurutnya, laporan ini cukup mendalam untuk menunjukkan bagaimana praktik pertanian dan tenaga kerja, kebiasaan konsumsi, dan aspek lain produksi pangan saling terhubung, serta bagaimana semuanya dapat diubah.

“Seolah-olah kita baru mengalami kebangkitan perlahan terhadap peran makanan dalam diskusi tentang keberadaan planet ini,” ujar Merrigan.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement