REPUBLIKA.CO.ID, LAHORE — Panel surya kini menjadi penyelamat bagi ribuan petani di Punjab, Pakistan. Mereka bisa memompa air sawah kapan saja tanpa bergantung pada listrik negara yang kerap padam atau solar yang mahal. Namun, di balik keuntungan energi bersih, krisis baru muncul, yaitu air tanah kian terkuras.
Karamat Ali (61), petani padi, rela menjual belasan sapi dan kerbau untuk membeli panel surya. “Pasokan air ke sawah saya lebih lancar dibanding sebelumnya,” ujarnya, Kamis (2/10/2025). Ia kini bebas menghidupkan pompa sumur tanpa memikirkan tagihan listrik maupun harga bahan bakar.
Fenomena ini meluas cepat. Ribuan petani mengganti pompa diesel dan listrik dengan tenaga surya sejak harga modul global anjlok hingga 80 persen sejak 2017. Kenaikan tarif listrik pada 2023 ikut mendorong tren ini. Data Kementerian Pertanian AS menunjukkan lahan padi melonjak 30 persen dalam dua tahun terakhir, sementara lahan jagung yang lebih hemat air justru turun 10 persen.
Akibatnya, pemakaian air tanah meroket. Dokumen otoritas air Punjab mencatat area dengan kedalaman air tanah di bawah 60 kaki meluas 25 persen hanya dalam empat tahun. Zona kritis di bawah 80 kaki bahkan lebih dari dua kali lipat.
Ekonom energi Ammar Habib memperkirakan 650 ribu sumur di Pakistan kini ditenagai panel surya, naik pesat sejak 2023. Peralihan ini memang menekan konsumsi listrik sektor pertanian hingga 45 persen, tetapi memperburuk risiko kekeringan di wilayah lumbung pangan negara itu.
Pemerintah pun terbelah. Menteri Tenaga Pakistan Awais Leghari mengklaim petani hanya mengganti sumber energi, bukan menambah penggunaan air. Namun pernyataan itu berlawanan dengan data ekspansi sawah padi. Menteri Irigasi Punjab Muhammad Kazim Pirzada lebih realistis. “Surya baik untuk lingkungan karena energi bersih. Tapi sekaligus mempengaruhi cadangan air tanah,” katanya.
Untuk menahan laju penurunan akuifer, pemerintah provinsi menguji proyek pengisian kembali air tanah di 40 lokasi dan menghidupkan kembali infrastruktur lama seperti Terowongan Ravi. Tetapi pakar lingkungan menilai langkah itu masih jauh dari cukup. “Dorongan solarisasi ini tanpa kendali jelas,” kata ilmuwan independen Imran Saqib Khalid. “Dalam jangka panjang, ini akan mempengaruhi pola tanam dan ketahanan pangan.”
Meski demikian, bagi banyak petani kecil, panel surya tetap dianggap penyelamat ekonomi. Mohammad Naseem (61) mengaku hemat hingga 2 juta rupee biaya energi dalam empat tahun terakhir, sementara hasil panennya meningkat. Bahkan sejumlah desa membeli panel secara patungan dan memperlakukan alat itu layaknya aset bersama. “Modal kembali dalam lima sampai enam bulan,” kata pedagang panel, Shahab Qureshi.
Bagi Pakistan, pilihan energi bersih ini menghadirkan dilema. Di satu sisi, petani mendapat kemandirian energi. Di sisi lain, Punjab sebagai wilayah penyokong pangan nasional, terancam menghadapi krisis air tanah yang kian dalam.