REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM — Konsumsi daging sapi dan domba di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah harus dibatasi hingga sekitar satu porsi per pekan untuk membantu mengatasi darurat iklim global. Menurut EAT-Lancet Commission, pembatasan ketat ini dapat menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca setara dengan total emisi tahunan Rusia.
Laporan yang diterbitkan koalisi ilmuwan global itu menyimpulkan perubahan pola makan dengan mengurangi konsumsi daging dan meningkatkan pangan nabati adalah kunci. Selain berdampak pada iklim, pergeseran diet ini juga dapat mencegah sekitar 15 juta kematian setiap tahun dan menjadi bagian penting dari transformasi sistem pangan, bahkan jika dunia sepenuhnya beralih ke energi bersih.
“Jika kita tidak beralih dari jalur pangan yang tidak berkelanjutan saat ini, kita akan gagal pada agenda iklim. Kita akan gagal pada agenda keanekaragaman hayati. Kita akan gagal pada ketahanan pangan. Kita akan gagal dalam begitu banyak jalur,” kata Johan Rockström, salah satu penulis studi sekaligus kepala Potsdam Institute for Climate Impact Research, Jumat (3/10/2025), dilansir laman The Associated Press.
Para peneliti menyimpulkan, hanya dengan mengubah pola makan di seluruh dunia, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian dapat berkurang 15 persen. Hal ini disebabkan oleh produksi daging, terutama daging merah, yang membutuhkan pelepasan gas pemanas bumi dalam jumlah besar.
Peningkatan produktivitas tanaman, pengurangan sampah makanan, dan perbaikan lainnya dapat mendongkrak pengurangan emisi hingga 20 persen, menurut laporan tersebut.
Emily Cassidy, peneliti dari lembaga nirlaba ilmu iklim Project Drawdown yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menegaskan jika penduduk negara berpenghasilan tinggi dan menengah membatasi konsumsi daging sapi dan domba hanya sekitar satu porsi per pekan, seperti rekomendasi laporan EAT Lancet terbaru mereka dapat mengurangi emisi setara dengan total emisi tahunan Rusia.
Laporan itu juga menyoroti hampir separuh populasi dunia tidak mendapatkan akses memadai terhadap pangan, lingkungan sehat, maupun pekerjaan layak dalam sistem pangan. Kelompok minoritas etnis, masyarakat adat, perempuan dan anak-anak, serta penduduk di zona konflik menghadapi risiko khusus terhadap hak asasi manusia dan akses pangan.
Cassidy menambahkan, orang sering mengaitkan makanan dengan “identitas” mereka, sehingga diet ketat dapat memunculkan resistensi. Namun, ia menekankan bahwa bahkan perubahan kecil tetap memberikan dampak besar.
Dengan semakin dekatnya perundingan iklim PBB pada November mendatang, Rockström dan peneliti lain berharap para pemimpin dunia memasukkan perspektif ilmiah tentang sistem pangan ke dalam kebijakan nasional.
Melakukan sebaliknya, katanya, “membawa kita ke arah yang membuat kita semakin rapuh. Maksud saya, baik dalam hal pasokan makanan, kesehatan, maupun stabilitas lingkungan kita. Dan ini adalah resep untuk membuat masyarakat semakin lemah.”