Jumat 25 Dec 2015 07:31 WIB
Catatan Akhir Tahun

Belajar ‘Kompromi’ dari Gojek

 Pengemudi ojek berbasis online mengantar penumpang di kawasan Palmerah, Jakarta, Jumat (18/12).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Pengemudi ojek berbasis online mengantar penumpang di kawasan Palmerah, Jakarta, Jumat (18/12).

Oleh: Dwi Murdaningsih

Redaktur Trentek Republika.co.id

Teknologi selalu selangkah lebih maju dibandingkan perkembangan zaman. Masih hangat dalam ingatan bagaimana tahun ini aplikasi ojek online hadir dan mengubah pola transportasi masyarakat. Aplikasi ojek online menjadi angin segar terutama bagi warga perkotaan (baca: Jabodetabek) yang tidak menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas namun enggan menggunakan transportasi umum.

Sekian lama beroperasi, pro dan kontra muncul. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sempat melarang aplikasi tersebut karena tidak sesuai dengan Undang-Undang, Kamis (17/12) malam. Undang-Undang menyebut, transportasi umum minimal beroda tiga, berbadan hukum, dan memiliki izin angkutan umum.

Kabar pelarangan operasional ojek online itu membawa kehebohan dalam semalam. Tagar #saveGojek menjadi trending topic di jagad twitter malam itu juga yang masih disambung esok harinya.

Di hari yang sama, Jumat (18/12) para pengedara dan penggemar ojek online boleh bernafas lega. Tak berselang 24 jam dari kabar pelarangan ojek online, Menhub akhirnya 'memberi kelonggaran' penggunaan kendaraan roda dua untuk transportasi hingga tersedianya transportasi publik yang layak.

Hal ini pun diamini oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi menilai larangan ojek online sama seperti mengekang kreativitas anak muda.

Jokowi menyebut produk aplikasi ojek sebagai sebuah inovasi. Menurut dia, tidak adanya aturan yang mengatur ojek sebagai transportasi umum tak bisa menjadi alasan untuk melarang mereka beroperasi. Bak autokritik, Jokowi mengatakan pemerintah seharusnya menyiapkan aturan baru sehingga ojek menjadi sarana transportasi yang legal.

Ini baru cerita mengenai sebuah aplikasi yang dimanfaatkan untuk kebutuhan transportasi. Jika menengok perkembangan teknologi setahun terakhir, aplikasi-aplikasi yang muncul dibuat untuk menjawab kebutuhan masyarakat untuk hidup lebih praktis. Sebut saja aplikasi situs-situs belanja online yang makin marak. Semua hal mulai dari tiket kereta hingga kamar hotel bisa dibeli dengan sekali klik melalui smartphone.

Perkembangan perangkat pintar juga begitu pesat. Perangkat pintar yang ada saat ini bukan hanya ponsel pintar atau smartphone, smart TV atau smartwatch saja. Di belahan bumi lain, raksasa perusahaan teknologi mulai membuat prototype untuk pengembangan gelang pintar, cincin pintar, dan beragam perangkat pintar lain. Bahkan perusahaan-perusahaan otomotif mulai menguji coba rancangan kendaraan mobil pintar yang bisa dikendalikan dari jarak jauh atau mobil self driving.

Era mobil pintar mungkin masih jauh. Perusahaan seperti Google, Tesla, BMW yang berencana membuat mobil pintar saat ini masih terus memperbarui teknologi. Teknologi ini diperkirakan akan siap digunakan pada 2020 mendatang. Namun, otoritas di Eropa sudah mulai membahas undang-undang yang secara legal mengatur mengenai keamanan teknologi tersebut. Teknologi selalu berkembang tapi negara siap dengan pakem-pakem tertentu untuk mengaturnya.

Otoritas Eropa mulai merancang regulasi bagaimana mobil kemudi otomatis tidak berbahaya atau merugikan kepentingan umum. Ide mula teknologi ini memang didasarkan pada jumlah kecelakaan yang lebih banyak disebabkan oleh kesalahan manusia atau human error. Para ahli berpendapat penggunaan robot atau mesin untuk mobil otomatis bisa mengurangi angka kecelakaan.

Di tahun depan, penggunaan drone diprediksi akan semakin menjadi tren. Pada tahun 2020, penggunaan drone diprediksi mencapai 16 juta unit. Otoritas penerbangan sipil Amerika (FAA) kini sudah mulai membuat aturan bagaimana penggunaan drone untuk penggunaan skala komersil dan pribadi.

Aturan yang dibuat mencakup ketinggian yang diizinkan dan perizinan serta penggunaan yang legal. Hal ini dilakukan untuk mencegah penggunaan drone untuk memata-matai privacy orang lain atau penggunaan untuk kepentingan yang membahayakan keselamatan publik, termasuk untuk tindakan terorisme.

Yang tidak kalah penting menjadi perhatian di era yang semakin maju ini adalah kejahatan siber. Tren kejahatan siber, peretasan dan pencurian informasi data-data pribadi juga perlu diperhatikan. Di Prancis, pascainsiden Paris (13/11) lalu, pemerintah Prancis segera membuat rancangan peraturan yang melarang penggunanya menggunakan wifi dari jaringan tidak dikenali. Hal ini dilakukan untuk menghindari peretasan data atau informasi yang mungkin bisa mengarahkan kepada tindakan terorisme.

Soal privacy juga menjadi hal yang banyak diperdebatkan. Sebut saja Inggris yang ingin menerapkan Undang-undang anti enkripsi (Investigatory Powers Bill) di negaranya. Undang-undang tersebut memberi mandat kepada perusahaan internet dan teknologi untuk menyerahkan data komunikasi berdasarkan perintah dari negara. Beberapa perusahaan termasuk Apple keberatan atas usulan ini. Mereka berkeras untuk bisa menjaga privacy penggunanya.

Pada Juli lalu, perdana menteri Inggris David Cameron mengatakan seharusnya tidak ada komunikasi dari warganya yang tidak bisa dibaca oleh negara. Menengok contoh di Inggris, bukan tidak mungkin hal serupa juga akan terjadi di Indonesia.

Kejahatan siber memaksa pengguna ponsel menggunakan aplikasi atau bahkan perangkat enkripsi. Namun, di sisi lain penggunaan aplikasi antisadap juga bisa menghambat kepentingan penyelidikan yang dilakukan negara berkenaan dengan kasus hukum. Mungkin, sebelum menjadi polemik, saatnya bagi Indonesia untuk mulai memikirkan hal ini.

Di negara lain, regulasi bisa dibilang hampir selalu datang lebih dulu atau setidaknya berbarengan dengan teknologi yang ada. Dari negara luar, barangkali Indonesia bisa belajar sigap dalam menyambut teknologi yang akan berkembang. Pun regulasi di Indonesia perlu mengatur bagaimana teknologi bisa dimanfaatkan dengan baik dan tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan seperti dalam kasus aplikasi ojek online untuk kebutuhan transportasi.

Biar bagaimanapun, teknologi adalah sebuah pisau bermata dua yang selalu saja ada celah yang bisa digunakan untuk kepentingan negatif. Dan negara memiliki otoritas untuk mengatur semua itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement