REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menurunkan tarif interkoneksi sebesar rata-rata 26 persenmerupakan kebijakan pro-rakyat yang perlu didukung termasuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan adanya kebijakan tersebut, rakyat bisa menikmati telekomunikasi dengan harga yang lebih terjangkau.
Menurut Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, dalam Undang-Undang No 36 Tahun 1999 Pasal 25 dan PP No 52 thn 2000 Pasal 20-25 dijelaskan, interkoneksi adalah kewajiban bagi setiap networkoperator untuk saling menyambung jaringannya satu sama lain. Hal ini bertujuan menjamin hak masyarakat untuk bisa saling menelepon dari dan ke operator yang manapun.
“Dengan interkoneksi yang tidak dihambat, masyarakat bisa bebas untuk memilih menjadi pelanggan dari operator yang mana saja, sehingga persaingan pelayanan bisa terjadi,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (25/8).
Dia menilai karena interkoneksi bisa digunakan untuk menghambat persaingan, maka negara hadir dengan mewajibkan interkoneksi. Jadi interkoneksi ini bukan jenis layanan atau tidak termasuk jenis jasa telekomunikasi. Sekali lagi, interkoneksi adalah menyambungkan antar jaringan supaya pelanggan jaringan yang satu bisa berkomunikasi dengan pelanggan dari jaringan lainnya (tidak terisolasi di satu jaringan).
Di sisi lain, lanjut Nonot, isu kerugian negara yang diangkat ke media akibat dari evaluasi berkala tarif interkoneksi, terkesan berlebihan dan tidak berdasar. Menurut publikasi dari pelaku pasar modal, rata-rata pendapatan per menit voice dari Telkomsel adalah Rp 105, sehingga tarif interkoneksi hasil perhitungan pemerintah sebesar Rp 204, sudah dua kali lipat dari harga Telkomsel.
Selain itu, laporan tahunan (annual report) 2015 Telkomsel di halaman 101 memperlihatkan angkavoice revenue dan minute of usage yang menunjukkan bahwa average revenue per minute (ARPM) sebesar Rp 162. Angka inipun jauh di bawah Rp 204. “Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah atau regulator tidak merugikan Telkomsel yang merupakan anak usaha dari BUMN Telkom,” paparnya.
Dengan ARPM sebesar Rp 162, Telkomsel meraup net profit lebih dari Rp 20 triliun dan keuntungan ini tentu dibagikan ke Singapore Telecommunications Limited (Singtel) 35 persen dan ke PT Telkom 65 persen, sesuai kepemilikan saham. Jika keuntungan ini stabil, maka sekitar Rp 7 trilliun setiap tahun menjadi bagian dari Singtel.
Sementara itu, Indosat Ooredoo, XL, Three, belum bisa mengirim keuntungan ke negara pemilik (Qatar, Malaysia, dst) karena investasi besar mereka di Indonesia belum untung. Investasi Singapura, Qatar, Malaysia, dan yang lainnya di industri telekomunikasi di Indonesia atas undangan negara kita.
“Maka tentu tidak elok jika isu asing versus nasionalisme diramaikan ketiga negeri ini masih membutuhkan investor luar negeri. Yang utama harus disusun adalah skenario kerjasama global yang saling menghormati dan saling memberi keuntungan,” kata Nonot.
Terkait kekhawatiran terjadinya penurunan pendapatan jika penurunan tarif interkoneksi diberlakukan, menurut dia, itu pasti. Tetapi hal itu memang harus terjadi dalam rangka mendorong terjadinya persaingan sehat di luar Jawa, agar masyarakat bisa mempunyai pilihan operator mana yang terbaik melayani mereka. Jika hanya satu operator yang sangat dominan, maka masyarakat tidak bisa memilih.
Dia menegaskan masyarakat berhak menuntut pengurangan biaya interkoneksi dan meminta pula penurunan tarif off-net kepada semua operator, jika ternyata tarif yg diterapkan berlipat lebih tinggi daripada hasil perhitungan pemerintah/regulator. Utamanya masyarakat luar Jawa yang merasakan adanya perbedaan tarif layanan, karena satuan biaya produksi yang berbeda. Saudara-saudara kita masyarakat di luar Jawa ingin juga biaya murah telepon seperti warga di Jawa.
“Dengan demikian, keputusan penurunan tarif interkoneksi hasil perhitungan pemerintah sebesar Rp 204 perlu segera diberlakukan dan kalau bisa diturunkan lagi,” jelasnya.