REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uni Eropa akan mengumumkan pengenaan pajak terhadap perusahaan teknologi global seperti Google, Amazon, dan lainnya bulan ini. Rencana itu bertujuan memaksa para raksasa teknologi tersebut agar membayar pajak lebih tinggi.
Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo pun menilai, inisiatif itu bagus. Meski begitu ada kendala untuk menjalankannya.
"Problem terbesarnya ada di regulasi. Pasalnya Google dan lainnya dianggap tidak melanggar hukum tapi hanya melanggar etika menghindar pajak karena memang secara aturan masih belum ada revisi," ujarnya kepada Republika.co.id, Ahad, (4/4).
Ia menambahkan, dalam aturan harus ada konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT) permanent establishment yang mensyaratkan physical presence. "Negara sumber dapat memajaki kalau terpenuhi syarat ada BUT. Ini kelemahan kita dan secara internasional," katanya.
Perlu diketahui, rencananya Uni Eropa akan memungut pajak dari para raksasa teknologi tersebut sebesar dua persen sampai enam persen. Hanya saja, kata Yustinus, untuk menilai, apakah tarif pajak itu tepat atau tidak, perlu dilihat dahulu skemanya secara keseluruhan.
Lebih lanjut, kata dia, ke depannya Indonesia juga bisa menerapkan kebijakan serupa. Hanya, perlu menunggu Uni Eropa merampungkan skemanya.
"Kalau Uni Eropa sudah ada model standar, kita bisa ikuti. Meski perlu ada penyesuaian, tapi seharusnya akan lebih mudah," jelas Yustinus. Dengan kata lain, perlu adanya benchmark.
Sebagai informasi, Uni eropa menuduh Google dan lainnya membayar pajak terlalu rendah. Hal itu karena, selama ini mengalihkan keuntungan bisnisnya di Eropa ke berbagai negara dengan tarif pajak lebih rendah seperti Irlandi serta Luksemburg.