REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Ahad (15/4) malam, tiga aplikasi media sosial yakni Instagram, Facebook, dan Whatsapp sempat tak dapat diakses alias down. Pengguna tiga platform tersebut pun mengungkapkan kegelisahan lantaran tak bisa membuka akun miliknya.
Dunia maya menawarkan sisi positif dan negatif bagi kehidupan. Selain menunjang kebutuhan berbagai informasi, bisnis, dan masih banyak lagi, dunia maya juga menawarkan eksistensi. Telah lama eksistensi di media sosial ini dikaitkan dengan sampai mengganggu kestabilan jiwa atau tidak. Penggunaan media sosial juga bisa dikategorikan produktif dan juga sebaliknya.
Lara Fielding, psikolog perilaku dan penulis Mastering Adulthood: Go Beyond Adulting to Become An Emotional Grownup menjelaskan saat ini ada sedikit paradoks media sosial. Banyak orang ingin kehadiran media sosial membantu mereka merasa baik-baik saja. Sementara pada saat yang sama, medsos membuat kita merasa semakin tidak baik-baik saja.
Bukan rahasia lagi penggunaan berlebihan media sosial telah dikaitkan dengan memburuknya kesehatan mental seseorang. Mengingat kebutuhan inti manusia adalah koneksi, media sosial sepertinya memang menawarkan itu. Akan tetapi, kecenderungan pengguna malah semakin sering membandingkan diri dengan orang lain.
Hal itu kerap membuat seseorang merasa tidak layak dan tidak lebih baik dari yang lain. "Tampaknya sarana yang sebelumnya ditujukan untuk membawa orang lebih dekat malah justru memisahkan kita," ungkapnya dalam sebuah artikel Forbes awal tahun ini.
Tapi bagaimana orang bisa tahu apakah mereka menggunakan media sosial sebagai aset atau sebagai penopang? Fielding mengatakan mengidentifikasi penggung media sosial biasanya punya tiga masalah.
1. Frekuensi.
Tanda terbesar pertama perilaku media sosial tidak sehat adalah seberapa sering menggunakannya. Apakah orang merasa harus memeriksa telepon setiap beberapa menit? Apakah melakukannya dirasa semacam mematikan kecemasan tetapi sepertinya tidak pernah menyembuhkannya?
Meskipun tidak ada jumlah waktu yang tepat dalam menggunakan medsos, orang dinilai harus dapat memahami apa yang terlalu banyak dilakukan. Cara yang bagus untuk mengetahui dengan pasti adalah saat media sosial menjadi tidak lagi menyenangkan dan mulai membuat stres.
Fielding juga menjelaskan tentang pesan yang baik adalah apakah hal itu mulai mengganggu hidup atau tidak. "Perilaku bermasalah ketika media sosial mencegah orang berfungsi. Sebaliknya, dunia maya bekerja untuk membantu kamu terhindar dari ketidaknyamanan," ujar Fielding.
2. Fungsi
Ketika orang mendaftar secara daring, ingat kembali apa tujuannya. Apakah untuk mendapatkan inspirasi, berbicara dengan teman lama, atau memeriksa e-mail? Atau apakah untuk merasa aman atau eksistensi? Fielding mengatakan niat di balik penggunaan media sosial dapat secara signifikan memengaruhi pengalaman orang tentang hal itu.
Dua masalah terbesar dengan media sosial banyak orang saling membandingkan. Perilaku itu juga menciptakan masalah perasaan seperti seseorang merasa terus-menerus diamati. Jika pengguna mengikuti orang yang membuatnya membenci diri sendiri dan ingin berubah, citra diri pengguna mungkin akan berkurang seiring waktu.
Jika pengguna mengikuti orang yang menginspirasi untuk menjadi diri sendiri, yang terjadi adalah sebaliknya. Ini semua tentang apa yang pengguna inginkan. Jadi harus dipastikan jelas tentang apa yang ingin didapatkan dari media sosial sebelum memiliki akun.
3. Pelarian
Terakhir, media sosial menjadi masalah ketika sarana itu menjadi cara untuk melarikan diri dari kehidupan dan bukan cara untuk terhubung dengannya. Fielding mengatakan ketika pengguna mengalami beberapa bentuk ketidaknyamanan dalam hidup, media sosial dipilih untuk menenangkan.
Di dunia nyata, jika orang merasa sakit maka ia akan menyembuhkan diri. Tapi di media sosial, orang justru bisa semakin cemas. "Jika Anda terus-menerus menggulirka medsos selama satu jam untuk menghilangkan kecemasan, Anda sebenarnya mengajari diri sendiri bahwa Anda tidak bisa mengatasinya sendiri," kata Fielding.