Rabu 07 Feb 2018 06:11 WIB

Ketinggian Gunung Everest yang Masih Diperdebatkan

Upaya pertama mengukur ketinggian Everest dilakukan pada pertengahan abad ke-19.

Puncak Gunung Everest
Puncak Gunung Everest

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Muhammad Iqbal

Gunung Everest adalah gunung tertinggi di dunia. Tapi, berapa persisnya ketinggian gunung tersebut? Sebuah pertanyaan yang tidak sederhana.

Pada masa lampau, ahli geologi berbeda pendapat terkait komponen dalam penghitungan Gunung Everest. Haruskah puncak salju (snowcap) disertakan? Atau haruskah peneliti menelusuri dasar bebatuan gunung?

Bagaimana dengan gempa bumi yang baru-baru ini terjadi di Nepal di mana para ahli geologi menyebut ketinggian gunung menyusut 3 cm? Atau fakta bahwa kecepatan angin memengaruhi seberapa banyak salju yang menutupi puncak gunung pada suatu waktu tertentu?

Kemudian, ada tantangan dari sisi geografis. Mencapai puncak Gunung Everest tidak mungkin digapai setiap waktu. Tantangan lain adalah mengukur tinggi gunung dari permukaan laut telah menghadirkan kesulitan pada masa lalu (daratan Nepal jauh dari pantai terdekat).

Saat ini, ketinggian Gunung Everest yang diakui secara luas adalah 29.029 kaki. Namun, tim-tim dari seluruh dunia, termasuk Cina, Denmark, Italia, India, dan Amerika Serikat, telah menghasilkan perhitungan berbeda. Entah itu sedikit lebih tinggi atau sedikit lebih rendah dari ukuran yang diakui sekarang. Italia menghasilkan 29.022 kaki (1992) dan AS mencatat 29.035 kaki (1999).

Ekspedisi pengukuran ketinggian Gunung Everest kerap kali mengecualikan ahli dari Nepal. Padahal, Nepal bersama Cina, merupakan 'pemilik' Gunung Everest.

Sekarang, untuk pertama kali, para ahli Nepal melakukan pengukuran tanpa ada intervensi pihak asing. Tujuannya tentu untuk menyelesaikan pertanyaan perihal tinggi gunung.

Selain perihal sains, ada kebanggaan nasional dalam hal ini. "Gunung Everest adalah harta kami. Apa yang terjadi jika ahli dari luar negeri terus mengurangi ketinggian gunung tanpa partisipasi kami?," ujar mantan Direktur Jenderal Departemen Survei Nepal Buddhi Narayan Shrestha di laman The New York Times, Senin (5/2).

Berdasarkan sejarah, upaya pertama dalam pengukuran ketinggian Gunung Everest dilakukan pada pertengahan abad ke-19. Saat itu, Nepal merupakan monarki Hindu, tertutup bagi masyarakat luar.

Sebuah tim yang dipekerjakan Sir George Everest dikumpulkan di dekat perbatasan India dan Nepal. Di sanalah, Radhanath Sikdar, seorang matematikawan muda asal India dan sekelompok orang lain mengunakan triangulasi untuk mengumpulkan data di gunung. Belakangan dikenal dengan Peak XV.

Sikdar lantas menuntaskan penghitungan pada 1852. Setelah itu, dia langsung menuju kantor atasannya di kaki pegunungan Himalaya dan mengklaim telah "menemukan gunung tertinggi di dunia".

Pada 1856, tinggi Peak XV tercatat 29.002 kaki atau tidak berbeda jauh dengan pengakuan sekarang. Kontribusi Sikdarlah kemudian membuat Peak XV diganti dengan nama Everest. Sebuah bentuk penghormatan bagi sang surveyor.

Sekitar 100 tahun kemudian, ketika Nepal membuka perbatasan dengan orang asing, para ilmuan memindahkan alat ukur hingga mendekati gunung. Sebagian terletak di Tibet, wilayah Cina. Pada pertengahan 1950-an, ketinggian Everest diakui mencapai 29.029 kaki. Pengakuan itu menjadikannya sebagai gunung tertinggi di atas permukaan laut.

Pejabat pemerintah di Nepal begitu selektif terhadap data yang dihasilkan negara-negara lain. Sebagian pengukuran ketinggian Gunung Everest kurang disambut positif. Ambil contoh Cina, negara yang berbagi puncak dengan Nepal. Setelah peneliti Cina melakukan pengukuran pada 2005, termasuk dari dasar batu hingga puncak hujan salju, perselisihan memanas ihwal ketinggian Everest.

Ang Tshering Sherpa, mantan kepala Asosiasi Pendaki Gunung Nepal, mengatakan Cina memberikan tekanan kepada Pemerintah Nepal dan Badan Pendakian Gunung Internasional untuk mengakui 29.017 kaki sebagai ketinggian terbaru Gunung Everest. Akan tetapi, Nepal tetap bersikukuh dan Cina pun mundur teratur. "Cina mengubah temuannya tahun lalu setelah jumlah pendaki Everest dari sisi utara menurun signifikan," ujar Sherpa.

Sebuah proposal pengukuran Everest dari India kepada Nepal pun pernah hadir tahun lalu. Swarna Subba Rao, surveyor general asal India, mengalokasikan sumber daya untuk mengirim tim pendaki beranggotakan 30 orang demi mengumpulkan data dari puncak.

Nepal, yang memiliki hubungan "kurang baik" dengan India pada masa lalu, menolak proposal India. "Kami mampu melakukan pekerjaan itu," ujar Ganesh Prasad Bhatta, Direktur Jenderal Departemen Survei Nepal, selaku penanggung jawab proyek pengukuran ketinggian Gunung Everest versi Nepal.

Roger Bilham, seorang ahli geologi di Universitas Colorado Boulder, mengatakan Gunung Everest berada di zona kompresi antara selatan Tibet dan India. Itu artinya gunung itu turun selama periode gempa bumi dan meningkat pada periode di antaranya. Sebuah gempa besar pada 1934 menurunkan ketinggian gunung sekitar 63 cm atau dua kaki.

Pada abad ke-19, ketinggian Gunung Everest dihitung dengan mengukur sudut antara puncak gunung dengan dengan titik-titik di tanah yang posisinya relatif tinggi terhadap rata-rata permukaan laut. Sekarang peneliti menempatkan GPS di puncak gunung selama satu jam dan menghitung secara matematis ketinggian laut dari satelit ditambah pengukuran gravitasi.

Untuk mempersiapkan ekspedisi pengukuran ketinggian Gunung Everest, peneliti Nepal akan mengumpulkan data di sepanjang dataran selatan negara itu. Di sana mereka berencana menghitung permukaan laut. Tim juga dilatih membawa GPS ke puncak. Biaya total pengukurang ketinggian Gunung Everest diperkirakan mencapai 250 ribu dolar AS.

Alan Arnette, seorang pendaki gunung terkenal, menuturkan setiap pengukuran merupakan "gambaran singkat pada waktunya" dengan berbagai tingkat akumulasi es yang menyebabkan variasi ketinggian. Ia mempertanyakan apakah ekspedisi itu bermanfaat bagi Nepal.

"Sebagai pendaki gunung saya ingin melihat hasilnya," kata Arnette. "Namun, sebagai orang yang mendukung rakyat Nepal, uang tersebut sebenarnya dapat dilokasikan untuk pekerjaan, makanan, udara bersih, dan program-program lainnya," lanjutnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement