REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebut butuh dana sekitar Rp 5 miliar untuk merevitalisasi satu buoy pendeteksi tsunami agar bisa ditempatkan di Selat Sunda. Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya ALam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan pihaknya terus berupaya melakukan revitalisasi buoy tsunami, untuk segera dapat dipasang di perairan Gunung Anak Krakatau dan sekitarnya.
Nantinya, menurut dia akan dinamai Buoy Merah Putih. BPPT siap untuk menempatkan buoy di sekitar Gunung Anak Krakatau.
"Buoy ini penting sebagai peringatan dini, agar penduduk di wilayah yang berpotensi terkena tsunami, memiliki waktu untuk dapat evakuasi ke shelter terdekat," ujar dia di Jakarta, Kamis (3/1).
Menurut Hammam, revitalisasi satu unit buoy tsunami, berikut pemasangan dan pemeliharaan diperkirakan bisa menghabiskan dana sebesar Rp 5 miliar. Pendanaan ini yang masih menjadi kendala mengingat pembuatan teknologi ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
"Revitalisasi ini ya kita oprek lagi buoy yang dahulu sudah rusak akibat vandalisme. Kita gunakan panel tenaga surya untuk sumber tenaganya, serta kita upayakan semua sensornya lengkap kembali. Butuh waktu, semoga dengan adanya dana khusus bisa lebih cepat prosesnya hingga pemasangan," paparnya.
Peran publik dalam hal menjaga buoy tsunami sangat penting. Berdasarkan informasi dari para nelayan perairan di sekitar buoy biasanya penuh dengan ikan, sehingga menarik para nelayan untuk memancing di sekitarnya.
Ia berharap ke depan kejadian vandalisme tersebut tidak terulang lagi."Publik harus semakin peduli terhadap pentingnya teknologi untuk membangun sistem peringatan dini yang handal, seperti buoy ini. Jika buoy sudah ada, kepada masyarakat dihimbau agar perlunya menjaga bersama, karena ini alat yang dibangun negara supaya kita tetap selamat," jelasnya.
Terlepas dari buoy itu berpotensi terkena vandalisme atau hilang, Hammam menegaskan teknologi ini penting untuk dibangun. Adanya buoy mendesak untuk melengkapi pemodelan yang digunakan sebelumnya.
Data dari buoy yang dipasang hingga 100 hingga 200 kilometer dari pantai, dapat mengirimkan informasi data terkini ketika ada gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi menjadi tsunami muncul. Hitungan awamnya, jika kecepatan gelombang tsunami antara 500 sampai 700 kilometer per jam, minimal ada waktu 10 hingga 15 menit untuk masyarakat melakukan evakuasi ke shelter terdekat.
"Sinyal dari buoy di tengah laut itu akan semakin intens dalam hitungan detik, mengirimkan sinyal ke pusat data sistem peringatan dini secara real time, jika ada gelombang yang melewatinya. Semakin tinggi dan kencang gelombang, maka sinyal yang dikirim frekuensinya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik," ujar Hammam.
Hal ini, menurut dia sangat penting bagi masyarakat yang bermukim di wilayah yang rentan terhadap terpaan bencana, untuk waspada bencana. "Masyarakat di pesisir atau wilayah berpotensi tsunami harus memiliki waktu evakuasi yang cukup. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dini yang handal, dalam hal ini ya buoy disertai teknologi lain seperti kabel bawah laut, maupun pemodelan sebelumnya," kata Hammam.
Lebih lanjut, BPPT tidak hanya mengembangkan buoy tapi juga kabel bawah laut atau Cable Based Tsunameter (CBT). Sifatnya saling melengkapi dengan buoy agar deteksi dini tsunami semakin akurat, presisi dan handal.
Ia menambahkan CBT ini telah dikembangkan di beberapa negara dan dimanfaatkan antara lain oleh Kanada, Jepang, Oman dan Amerika Serikat. Dalam forum komunikasi antarperekayasa CBT di seluruh dunia, disepakati juga bahwa teknologi ini menjadi pilihan alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi oleh buoy, yakni vandalisme dan mahalnya buoy.
"Saat ini selain persiapan membangun BUOY Merah Putih, BPPT juga telah menyiapkan kabel bawah laut sepanjang 3 kilometer. Kami harap yang kami lakukan ini mendapat dukungan pemangku kepentingan strategis," lanjutnya.
Sebagai informasi untuk ketiga buoy revitalisasi ini akan dipasang di sekitar Pulau Anak Krakatau, Bengkulu dan arah Pelabuhan Ratu, sebagai wilayah yang diduga merupakan zona subduksi.