REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Departemen Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil mengembangkan alat pengolah limbah batik. Hasil penelitian Dr Roto dan tim mampu membuat air limbah yang dihasilkan memenuhi ambang baku normal.
Alat ini membantu perajin batik dalam mengelola limbah. Sebab, selama ini pengeloaan limbah yang dilakukan perajin masih dilakukan secara manual dengan cara tradisional, seperti model penyulingan, atau filtrasi dengan pasir dan ijuk.
Proses pengendapan dari beberapa tahapan yang belum bisa menghasilkan air bening. Namun, dengan kehadiran alat ini, diharapkan bisa menjadi solusi persoalan limbah batik dan mewujudkan lingkungan yang sehat.
"Pengolahan limbah batik selama ini yang dilakukan hanya menyaring padatan, sedangkan zat kimia dan zat warnanya tidak terproses masuk ke tanah dan kalau ini masuk ke sumur bisa membahayakan kesehatan masyarakat," kata Roto, Senin (3/2).
Roto menjelaskan, alat yang dikembangkannya bersama Peneliti Kochi University Technologi Jepang, Dr Fean D Sarian dan D. Ahmad Kusumaatmaja dari Departemen Fisika FMIPA UGM tersebut mampu menghancurkan limbah zat warna. Limbah yang bisa dihancurkan, yakni dari industri batik kecil dan menengah.
Proses penghancuran limbah dilakukan secara kimia, yakni melalui metode elektrolisis. Lalu, dari proses tersebut menghasilkan air yang mendekati ambang baku normal.
"Yaitu, kadar zat warna dari 100 miligram per liter menjadi lebih kecil 0,1 miligram per liter," ujar Roto.
Air hasil pengolahan limbah bisa dipakai lagi untuk proses batik berikutnya. Air limbah yang telah diolah aman dibuang karena memenuhi baku mutu limbah industri yang meliputi BOD, COD, TDS, pH, kadar logam berat dan lainnya.
Alat yang diberi nama Electro-DE (Electrolytic-Dye Eater) ini dirancang berbasis teknologi elektrokimia memakai elektroda khusus. Dilengkapi radiasi untuk mempercepat pemecahan zat warna menjadi senyawa yang ramah lingkungan.
Bahkan, alat telah digunakan perajin batik di sebuah rumah produksi batik di Gulurejo, Lendah, Kulonprogo. Peluncuran alat secara perdana dilakukan pada 22 Januari 2020 lalu oleh Bupati Kulonprogo.
Dirancang dalam bentuk portabel berukuran 40x50x60 centimeter, membuat mesin ini bisa mudah dipindah tempatkan. Dalam pengoperasiannya, dapat dilakukan dengan mode automatik maupun manual dan membutuhkan daya sebesar 500 watt.
Mesin ini mampu menampung limbah cair kapasitas 50 liter dengan konsentrasi zat warna maksimal 100 mg/L. Dalam sehari, mesin dapat beropreasi non-stop hingga 8-10 jam dengan kemampuan memproses limbah 500 liter per hari.
"Untuk satu kali proses pengolahan limbah memakan waktu sekitar satu jam hingga menghasilkan air yang mendekati batas ambang baku," kata Roto.
Alat dikembangkan sejak tahun 2017 ini telah didaftarkan paten dan ditarget bisa segera dikomersialisasikan pada 2020. Kalau diproduksi massal, satu unit sekitar Rp 80 juta dan bisa dipakai hingga 20 tahun ke depan.
Saat ini, riset untuk pengembangan mesin pengolah limbah batik masih terus dilakukan. Upaya penyempurnaan dilakukan dalam beberapa sisi salah satunya pemanfaatan panel surya untuk suplai energi.