Senin 11 Aug 2014 13:30 WIB

Merah Putih di Langit Indonesia

Red:

Tangan kekar Uwod (51 tahun) terlihat gesit melipat berlembar-lembar bendera Merah Putih berukuran 30 x 50 sentimeter. Matanya cepat beralih dari karung putih di depannya ke arah tumpukan bendera di samping kirinya. Meski terlihat serius, kepalanya tetap bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagu dangdut yang terdengar dari radio kecil miliknya.

Mesin kecil dengan dua speaker stereo itu menjadi satu-satunya hiburan bagi Uwod saat menjajakan Sang Saka Merah Putih di tepi Jalan Anggrek Garuda, Slipi, Jakarta Barat. Tahun ini adalah kali kelima pria asal Garut itu berjualan bendera di Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Yasin Habibi

Pedagang Bendera Merah Putih: Pedagang merapikan dagangan bendera di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis (7/8).

 

Sambil memasangkan bendera-bendera yang tidak dilipatnya ke seutas tali rafia, kepada Republika, Jumat (8/8), Uwod berkata, "Saya ke sini (Jakarta) bareng teman-teman saya. Total 80 orang yang ke Jakarta."

Bagi Uwod, kesempatan mengadu nasib di Jakarta adalah kesempatan langka. "Makanya jualan kayak gini saya lakoni. Toh sekali setahun," ucap dia.

Bendera-bendera milik Uwod dijajakan tepat di sebuah halte bus. Seutas tali rafia sepanjang tujuh meter dibentangkan dari atap kanan halte ke sebuah tiang listrik di kiri halte. Uwod juga menambahkan sebuah bambu panjang untuk menahan belasan tiang bendera bambu yang juga ia jajakan.

Bentuk bendera yang dijualnya tidak hanya bendera konvensional berbentuk persegi panjang. Uwod juga menyediakan bendera  melengkung setengah lingkaran yang biasa dipasang di atap kantor pemerintahan.

Harga yang ia tawarkan bervariasi, tergantung jenis dan ukuran bendera. "Kalau yang biasa, saya jual Rp 25 ribu. Kalau yang agak gedean, bisa Rp 40 ribu. Nah kalau yang melengkung itu, yang beli orang kantoran biasanya. Harganya mahal, Rp 200 ribu sebiji," kata dia menjelaskan.

Selain bendera, Uwod juga menjual tiang bendera dari bambu yang dibanderol Rp 15 ribu sebatang. "Saya ke Jakarta membawa mimpi. Mengharap berkah dari bendera Merah Putih. Itu saya juga bawa anak saya untuk jualan," kata Uwod sambil menunjuk lapak pedagang bendera lain tepat di seberang lapak miliknya.

Bersama anaknya, Fathoni, Uwod setiap malam menumpang tidur di sebuah SPBU tak jauh dari lokasinya berjualan. Dia mengaku membayar Rp 300 ribu kepada pihak SPBU untuk mendapat izin sekedar mengistirahatkan badan di malam hari.

"Bapak pekerja keras. Saya akhirnya mau juga diajak ke Jakarta buat jualan bendera," kata Fathoni anak sulung Uwod. Fathoni yang sudah berkeluarga harus meninggalkan anak dan istrinya di Garut selama dua peekan hingga Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus mendatang.

Uwod dan Fathoni bukan kisah satu-satunya tentang pendatang dadakan yang menjajakan Sang Saka Merah Putih di Jakarta. Di kawasan Kebayoran, tak jauh dari Taman Langsat ada Supinah (67 tahun) yang datang dari kampungnya di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat.

Ia datang bersama tetangga-tetangga satu desanya yang menyerbu Jakarta minggu lalu. "Berapa orang ya, adalah 100 orang juga. Pokoknya barengan dari Cirebon. Tapi jualannya nyebar di Jakarta," katanya sambil membetulkan kerudung yang dikenakannya.

Supinah berjualan sejak pukul tujuh pagi hingga menjelang Maghrib. "Minggu ini belum ramai. Hari ini saja baru tiga orang yang beli. Semoga minggu depan mulai ramai," ucapnya penuh harap.

Supinah juga mengajak anak kandungnya untuk berniaga di Jakarta. "Anak saya jualan di Kebon Jeruk. Nanti sore kalau dia kelar dagang, dia jemput saya," ucap dia.

Mereka mengaku saban malam tidur di bawah kolong jembatan layang Slipi. Tak punya saudara untuk menumpang tidur, Supinah harus merogoh kocek Rp 500 ribu kepada seorang saudagar menjadi 'penguasa' kawasan itu. "Daripada gak punya tempat tidur. Lumayan dapat sepetak," imbuhnya.

Martin, tetangga Supinah mengaku datang ke Jakarta lantaran ikut pamannya berjualan bendera. "Tahun lalu saya jualannya di Bogor," katanya.

Ia mengaku lapaknya lumayan ramai lantaran terletak di Jalan Barito, tepat di sebuah warung bubur terkenal. "Efeknya jadi banyak orang mampir," ucap dia.

Dalam sehari, Martin yang mengaku masih bujang ini mampu meraup untung Rp 500 ribu. Meski menggiurkan untuk berbisnis di Jakarta, Martin tidak ingin selamanya menetap di Ibu Kota. "Paling jualan bendera cuma sampai tanggal 16 atau 17 Agustus. Setelah itu saya mau ke Cirebon dulu," kata dia menjelaskan.

Cara lain dipakai Solihin (45). Dia menjajakan benderanya dengan cara berkeliling kompleks perumahan di Jakarta. "Modalnya gerobak ini. Dari pagi sampai sore saya keliling. Jam enam sore saya balik ke pangkalan. Setoran ke bos," ucapnya.

Ditemui di sebuah pos ronda di perumahan elite di kawasan Slipi, Jakarta Barat, Solihin terlihat kelelahan. Sesekali dia mengusap dahinya yang dipenuhi keringat. "Handuk saya ketinggalan di rumah," katanya singkat.

Solihin mengaku, dalam sehari dia bisa membawa Rp 1 juta. "Kalau ramai segitu (Rp 1 juta) dapat. Soalnya saya juga jualan sapu sama peralatan rumah tangga lain," ujar dia.

Namun, Solohin berkata tahun ini penjualan bendera sedang lesu. "Dulu tanggal segini sudah mulai banyak yang nyari bendera. Sekarang masih adem ayem. Apa karena orang-orang mulai malas masang bendera ya?" tanyanya.

Solihin merasa meskipun hanya penjual bendera, namun Solihin merasa turut menyumbangkan andil dalam menjaga semangat kemerdekaan. Baginya, walaupun dia sendiri tak punya rumah untuk dipasangi bendera, namun dia tetap bangga dengan kemerdekaan Indonesia. "Kalau saya, benderanya saya pasang di sini," ujarnya sambil menunjuk dada. rep:c85 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement