Rabu 05 Apr 2017 23:45 WIB

Bom Ikan Masih Marak di Banggai Laut

Red: Yudha Manggala P Putra
Nelayan menggunakan bom untuk mendapatkan ikan.
Foto: ANTARA
Nelayan menggunakan bom untuk mendapatkan ikan.

REPUBLIKA.CO.ID, BINGGAI, SULTENG -- Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Banggai Laut Abdullah Malida mengakui bahwa penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan kimia dalam penangkapan ikan di daerahnya masih marak sampai saat ini.

"Karena itu kami minta tim Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng sering-sering turun kemari untuk menangani masalah ini," kata Malida dalam sosialisasi berbagai peraturan pengelolaan sumber daya laut di Banggai, Ibukota Kabupaten Banggai Laut, Rabu (5/4).

Sosialisasi itu digelar tim Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah dipimpin Kepala Dinas Hasanuddin Atjo yang menghadirkan para nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan di laut.

Menurut Malida, perairan di Banggai Laut ini rawan terhadap bom ikan dan penggunaan bahan kimia karena kapal-kapal yang beroperasi tidak hanya milik nelayan setempat tetapi juga para nelayan dari berbagai provinsi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.

"Kita tidak bisa mengawasi operasional kapal-kapal penangkap ikan di sini karena tidak ada pelabuhan perikanan. Ikan hasil tangkapan dengan bahan peledak dan bahan kimia itu langsung di jual kepada kapal-kapal dari luar daerah ujar," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan DKP Sulteng Yunber Bamba mengakui masih maraknya praktik penangkapan ikan secara tidak ramah lingkungan, tidak hanya di Banggai Laut tetapi juga di Banggai Kepulauan dan beberapa wilayah kepulauan lain di provinsi ini.

"Hampir semua kawasan kepulauan rawan sekali dengan praktik bom ikan dan penggunaan bahan kimia dalam menangkap ikan karang yang bernilai jual tinggi," ujarnya.

Praktik seperti ini, kata Yunber, mengakibatkan kerusakan yang semakin parah pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di provinsi ini.

Ia memberi contoh tutupan karang yang masih baik saat ini tinggal sekitar 12 persen dari kondisi aslinya, lamun 14 persen dan hutan bakau atau mangrove sekitar 15 persen. "Siapa yang merusak ini, tentu mereka-mereka yang beraktivitas di sekitar kawasan tersebut," ujarnya.

Upaya penertiban, kata Bamba, terus diupayakan dengan mengedepankan peran kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas), namun hasilnya diakui belum maksimal karena berbagai keterbatasan seperti jumlah orang, serta sarana dan prasarana yang dimiliki.

Khusus di Banggai Laut, katanya, pihaknya melakukan razia dan meringkus 7 orang nelayan yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, namun setelah diproses hukum, mereka dijatuhi hukuman penjara 'hanya' 4 bulan.

"Karena itu kami menilai, penegakan hukum bukan cara terbaik mengatasi 'ilegal fishing' tetapi peningkatan kesadaran dan rasa memiliki para nelayan terhadap sumber daya perairan dan kelautan sehingga mereka bisa memanfaatkannya secara bertanggung jawab dan lestari sesuai ketentuan hukum yang berlaku," ujarnya.

Sehari sebelumnya, DKP Sulteng juga menggelar pertemuan dengan para anggota pokmaswas di Salakan, ibu kota Kabupaten Banggai Kepulauan untuk meningkatkan kapasitas dan memberikan semangat serta motivasi kepada mereka untuk melaksanakan tugas secara maksimal meski masih banyak keterbatasan yang mereka miliki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement