Selasa 31 Aug 2021 17:27 WIB

Busyro Harap Dewas KPK Laporkan Pidana Lili Pintauli

Sanksi potong gaji itu sama sekali tidak memperlihatkan penegakkan hukum etik.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus Yulianto
 Busyro Muqoddas
Foto: dokumen
Busyro Muqoddas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Dewan Pengawas (Dewas) KPK memberikan sanksi berat pemotongan gaji pokok 40 persen kepada Komisoner sekaligus Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, dianggap tidak cukup. Mantan Komisioner KPK, Busyro Muqoddas berharap seharusnya Dewas KPK melaporkan Lili Pintauli Siregar karena telah melakukan tindakan pidana melanggar pasal 21 UU Tipikor tentang Obstruction of Justice atau menghalangi proses penyelidikan.

Maka, menurut Busyro, sanksi pelanggaran etika, seharusnya juga berupa sanksi yang berkaitan dengan jabatannya serta sanksi pidana. Karena itu menurut dia, meskinya Dewas KPK berkewajiban melaporkan Pimpinan KPK yang diberi sanksi itu ke Mabes Polri, karena telah melanggar pidana.

"Saya sudah menyampaikan hal ini kepada Dewas, agar melaporkan Lili Pantauli tersebut kepada Mabes Polri. Tetapi kalau Dewas tidak mau, ada unsur-unsur baik di KPK maupun masyarakat sipil yang akan melaporkan Lili Pintauli ini ke Mabes Polri," kata Busyro kepada wartawan, Selasa (31/8).

Busyro juga mengharapkan ada masyarakat sipil yang ikut melaporkan persoalan Lili Pintauli, oknum Pimpinan KPK karena alasan Obstruction of Justice tadi. Bila memang Dewas KPK ternyata tidak bersikap untuk melaporkan Lili Pintauli ke Mabes Polri.

"Ini hak masyarakat untuk melaporkan pimpinan KPK yang dianggap melanggar pidana ke Mabes Polri, dan saya sudah mengajak kawan kawan lintas organisasi masyarakat sipil, ikut melaporkan. Saya siap tanda tangan," tegasnya.

Busyro juga sangat menyayangkan sanksi berat yang diputuskan adalah pemotongan gaji pokok dari pimpinan KPK yang disangkakan. Menurutnya sanksi potong gaji tersebut, menghilangkan logika Dewas sendiri untuk menampakkan supremasi dan penegakkan hukum dari pelanggaran kode etik yang ada.

"Menurut saya, sanksi potong gaji itu sama sekali tidak memperlihatkan penegakkan hukum etik. Lha ini kok kayak kasus tilang. Pimpinan KPK dipotong gaji 40 persen ya masih tidak ada masalah. Lha wong gajinya juga masih lumayan besar," terang mantan Ketua KPK periode 2010-2011 ini.

Sebagai mantan pimpinan yang sudah bekerja lima tahun di KPK, Busyro merasakan melihat pimpinan KPK saat ini memang sangat kurang dari sisi etika dan integritas. Ia menceritakan, berdasarkan portofolio KPK selama memberantas korupsi, pimpinan KPK harus bisa menjadi teladan.

Sebab, kata dia, core value KPK tidak bisa ditegakkan tanpa adanya keteladanan dari pimpinannya. Fakta selama ini tim di KPK, termasuk satgas-satgas dan peneliti-peneliti di KPK bekerja sangat berintegritas, karena ada keteladanan dan kolektivitas kerja dari pimpinannya.

"Ini karena budaya egalitarianisme yang memang sejak awal dipelihara di KPK sejak dahulu. Ini yang terus dirawat dan dikembangkan di setiap pimpinan KPK," kata dia. Termasuk di pimpinan KPK terakhir sebelum pimpinan KPK yang sekarang.

Dia menyebut, dulu ada forum dialog sebulan sekali antara pimpinan KPK dengan semua pegawai, termasuk karyawan hingga OB di KPK. Disitulah persoalan muncul, dan kebebasan berpendapat serta sikap egaliter yang dijaga. Dari situlah muncul sikap saling percaya dan saling terbuka antar pimpinan dan karyawan.

"Inilah yang penting dilakukan pimpinan KPK. Persoalannya apakah sekarang pimpinan KPK memberi contoh seperti itu," ujarnya.

Faktanya, dalam proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) itu banyak keterangan yang terkesan tidak jujur, tidak konsisten bahkan melawan keputusan lembaga kredibel, seperti Mahkamah Konstitusi, Ombudsman hingga Komnas HAM. Termasuk melanggar amanat dari Presiden Jokowi yang meminta agar keputusan TWK itu jangan sampai membuat sebagian pegawai yang tidak lolos serta merta diberhentikan.

"Dari sudut itu, kita lihat kasus Komisioner KPK Lili Pantauli Siregar, apa yang dilakukannya memang sudah melanggar etika pimpinan KPK. Karena budaya pimpinan di KPK sejak dulu selalu menghindar bertemu tokoh politik apalagi ketua parpol," paparnya.

Dulu, ungkap Busyro, setiap pimpinan diingatkan agar menghindari pertemuan baik terbuka apalagi rahasia dengan tokoh parpol. Karena, setiap mobil pimpinan dipasang chip, sehingga akan ketahuan bila melakukan kunjungan atau menemui tokoh politik pasti akan termonitor. 

"Itu sistem pencegahan internalnya. Ini upaya untuk menghindari tergerusnya kredibilitas pimpinan KPK dimata pegawai dan di mata publik," ucapnya. 

"Nah sekarang, menurut dia, sikap serta etika kewaspadaan dan kehati-hatian tersebut sepertinya sudah tidak ada. Seperti kasus Lili Pantauli Siregar itu," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement