Rabu 15 Dec 2021 09:08 WIB

Pandemi Covid-19 Perparah Anjloknya Penjualan Buku 

Buku yang dicetak banyak,  tetapi  tingkat keterbacaan rendah.

Red: Irwan Kelana
Ketua Ikapi Arys Hilman (kanan)  saat menyampaikan makalahnya pada acara Penghargaan Sastra Litera 2021, di Ruang Merdeka 2, Swiss Bell Hotel Sepong, BSD, Tangerang Selatan, Selasa (14/12).
Foto: Dok Litera
Ketua Ikapi Arys Hilman (kanan) saat menyampaikan makalahnya pada acara Penghargaan Sastra Litera 2021, di Ruang Merdeka 2, Swiss Bell Hotel Sepong, BSD, Tangerang Selatan, Selasa (14/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)  Arys Hilman mengatakan,  pandemi Covid-19 turut mempercepat anjloknya penjualan buku dan penerbitan di Indonesia. Disrupsi itu juga tidak saja hanya terjadi terhadap buku cetak, namun juga terjadi pada buku versi digital atau PDF. 

"Terjadi kemerosotan angka pertumbuhan industri perbukuan sejak 2010. Penurunan ini terlihat dari angka pertumbuhan buku yang terus merosot dari 28,22 persen pada 2010 ke minus 0,48 pada 2017," ujar dia pada acara Penghargaan Sastra Litera 2021 dengan tema "Nasib Buku Sastra Di era Digital" di Swiss Bell Hotel Sepong, BSD, Tangerang Selatan, Selasa (14/12). 

Arys mengatakan, meski pada 2018 dan 2019 ada angin segar perbaikan buku di angka 7,38 persen dan 4,2 persen, namun angka tersebut tidak pernah kembali ke angka pertumbuhan semula. 

Pandemi Covid-19 turut memperparah kemerosotan penjualan buku, pendistribusian, dan diperparah pula dengan pembajakan buku yang semakin masif. 

"Dalam kondisi pandemi kuartal pertama  tercatat pertumbuhan  minus 17,27, dan lebih parah pada kuartal kedua minus 72,40 persen," ujar dia dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

Arsy juga mengungkapkan banyaknya buku yang didaftarkan ke Perpusnas untuk mendapatkan ISBN namun berbading terbalik dengan nilai penjualan buku.  "Artinya, buku yang dicetak banyak,  tetapi  tingkat keterbacaan rendah," jelas Arys. 

Hal senada juga diungkap cerpenis Ni Komang Ariani. Ni Komang mengatakan, masalah utama yang dihadapi masyarakat terutama penggiat buku tanah air adalah menurunnya penjualan buku secara umum. 

Menurutnya, penurunan tersebut mencapai hingga 20 persen. "Meski begitu, ruang sastra  malah meluas melalui dunia digital. Itu dapat dilihat dari cetak ulang buku Laila S Chudori di masa pandemi mancapai 24 kali," kata dia. 

Dia juga menyebutkan rendahnya penjulan buku disebabkan okeh kurangnya minat baca masyarakat Indonesia. Dia merincikan, minat baca masyarakat Indonesia berada di angka 0,001 atau 1 banding 1.000. 

"Dengan kata lain, sudah saatnya pemerintah Indonesia membuat program yang menumbuhkan minat baca masyarakat, dengan belajar (studi banding) ke negara lain mislanya Skandinavia, yang menduduki peringkat 5 minat baca tertinggi. Atau pemerintah Indonesia juga bisa belajar banyak ke Jepang memberi fasilitas lengkap di perpustakaan mereka," jelas dia.

Penyair sekaligus penjual buku, Indrian Koto menyarankan agar pemerintah memberikan perhatian lebih pada usaha penerbitan indie di tengah senjakalanya dunia cetak. 

Menurutnya hal itu akan memberikan suntikan positif terhadap dunia penerbitan.  "Awal tahun 2000-an di Yogya, banyak penerbit yang mampu bertahan setelah salah satu lembaga Ford Foundation memberikan suntikan dana kepada para penerbit. Kita melihat sejumlah penerbit itu ada dan terus tumbuh. Apalgi jika 10-20 persen dana dari jumlah buku setiap penerbit dapat terserap dan tersebar ke perpustakaan lewat kegiatan literasi," ungkap dia. 

Indrian berharap pemerintah melakukan pendataan komperhensif tentang penerbitan indie kemudian memberikan ruang yang sama kepada mereka (penerbit indie). 

Perhelatan Penghargaan Sastra Litera yang diselenggarakan Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literacy Institute) — divisi literasi Yayasan Master Kreativa Indonesia ke-4 ini telah mundur satu tahun. Mestinya digelar tahun 2020 lalu, namun batal karena pandemi dan tiadanya sponsor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement