Sabtu 09 Jul 2022 16:37 WIB

Soal Pencabulan, Menteri PPPA : Jangan Ada Toleransi! 

Keberanian korban melaporkan kasus kekerasan seksual memiliki dampak luar biasa.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mendukung penangkapan MSAT yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap santriwati. Kasus ini diharapkan dapat segera disidangkan di pengadilan agar terdapat kepastian hukum.

Apabila tersangka memang dinyatakan bersalah, maka lekas dijatuhkan sanksi yang sesuai. Di samping itu, korban juga bisa mendapatkan ganti rugi, penanganan, dan pemulihan baik trauma psikologis maupun pemulihan martabat di tengah-tengah masyarakat.

"Saya tegaskan kembali, tidak ada kasus kekerasan seksual yang dapat ditoleransi dan siapapun pelakunya, hukum harus ditegakkan dan di proses," kata Bintang dalam keterangan pers, Sabtu (9/7).

 

photo
Sejumlah petugas menunjukkan tersangka Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) saat rilis kasus di Rutan Klas I Surabaya di Medaeng-Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (8/7/2022). Polda Jawa Timur menangkap Moch Subchi Azal Tsani yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Ploso, Jombang. - (ANTARA/Umarul Faruq)

 

Bintang mengemukakan, seluruh proses hukum terkait tindak pidana kekerasan seksual telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturan itu menjamin segala penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

"Kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran konstitusi, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan," ujar Bintang. 

Oleh karena itu, Bintang menyatakan, semua bentuk kekerasan seksual harus mendapat penanganan hukum yang sesuai. "Agar tidak ada lagi penyelesaian di luar pengadilan dan pihak-pihak yang menghalangi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menegakkan hukum," lanjut Bintang. 

Dalam UU TPKS Pasal 19 dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/ atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. 

Bahkan, bila hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang memiliki kedudukan lebih kuat atau sebenarnya diberikan kepercayaan untuk melindungi, dan terbukti menjadi pelaku, maka akan mendapat tambahan hukuman.

"Penegakan hukum terus diupayakan terhadap berbagai kasus kekerasan seksual di Indonesia, KemenPPPA bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyiapkan berbagai peraturan pelaksana implementasi UU TPKS baik melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden," ucap Bintang. 

Di sisi lain, Bintang mengapresiasi, keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Hal tersebut, menurutnya, memiliki dampak yang luar biasa.

"Karena atas keberaniannya, kasus kekerasan seksual ini terungkap dan dapat segera ditangani proses hukum serta pemulihannya, dan yang paling penting adalah mencegah bermunculan korban-korban lainnya," ujar Bintang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement