Sabtu 10 Sep 2022 11:01 WIB

Nelayan Lebak Sepekan tidak Melaut karena Gelombang Tinggi

Gelombang tinggi membahayakan keselamatan nelayan Lebak.

Red: Ani Nursalikah
Ombak besar di pesisir pantai Bagedur, Lebak, Banten. Nelayan Lebak Sepekan tidak Melaut karena Gelombang Tinggi
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Ombak besar di pesisir pantai Bagedur, Lebak, Banten. Nelayan Lebak Sepekan tidak Melaut karena Gelombang Tinggi

REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Sejumlah nelayan tradisional pesisir selatan Lebak,  Banten sejak sepekan terakhir tidak melaut akibat angin barat dan gelombang tinggi yang melanda perairan Samudera Hindia.

"Kami tidak berani melaut untuk menghindari kecelakaan laut," kata Abas (45 tahun) seorang nelayan Tempat Pelelangan Ik5 ( TPI) Tanjung Panto Wanasalam Kabupaten Lebak, Sabtu (10/9/2022).

Baca Juga

Cuaca buruk yang melanda pesisir selatan Kabupaten Lebak yang berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia cukup membahayakan bagi keselamatan nelayan. Tiupan angin dari arah barat disertai gelombang tinggi berkisar antara 2,5 meter sampai 4.0 meter, sehingga nelayan memilih menganggur.

Sebab, jika dipaksakan melaut sangat berpotensi menimbulkan kecelakaan laut juga tangkapan ikan menurun drastis. "Saya kira lebih baik tidak melaut dan dipastikan pendapatan tidak seimbang dengan biaya produksi," kata Abas.

Menurut dia, nelayan di sini belum bisa memastikan kapan kembali melaut, karena hingga saat ini cuaca di pesisir selatan tidak bersahabat. Selain angin kencang dari arah barat juga gelombang cukup tinggi dan membahayakan bagi perahu kincang bermesin motor tempel dengan panjang 2,5 meter dan lebar 120 sentimeter.

Perahu kincang itu tentu tidak mampu menghadapi gelombang di atas 2,5 meter dengan tiupan angin 30 knot. "Kami dengan nelayan lainnya kini lebih baik memperbaiki jaring sambil menunggu cuaca kembali normal," katanya.

Begitu juga Aming (55) nelayan Binuangeun Kabupaten Lebak mengaku tidak berani melaut akibat gelombang tinggi disertai angin kencang dan hujan. Bahkan,belum lama ini nelayan Binuangeun menjadi korban kecelakaan laut setelah diterjang gelombang tinggi hingga perahunya terbalik dan menghilang hingga ditemukan tim SAR gabungan meninggal dunia.

Saat ini, ratusan perahu nelayan tradisional di tepi Pantai Binuangeun dan sebagian di antaranya diperbaiki. Selama tidak melaut, untuk mencukupi kebutuhan dapur nelayan mengandalkan pinjaman atau utang.

"Kami sudah biasa jika cuaca buruk mengutang ke juragan pemilik perahu dan dibayar nanti setelah tangkapan normal," ujarnya.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Lebak, Nurman mengatakan sejak sepekan terakhir nelayan di wilayahnya tak melaut akibat cuaca buruk juga ditambah kenaikan harga BBM. Selain itu, nelayan juga mengeluhkan karena biaya operasional melaut cukup tinggi dan untuk satu pekan di laut mencapai Rp 5 juta.

Sedangkan, harga jual di pelelangan tidak seimbang dengan biaya operasional. Selain itu, tangkapan sangat minim sehingga nelayan memilih tak melaut. "Kami berharap harga BBM kembali turun atau diberikan subsidi," katanya.

Kepala Bidang Peningkatan Kapasitas Nelayan Kecil Dinas Perikanan Kabupaten Lebak Rizal Ardiansyah menyatakan tengah mengajukan kepada Bupati Lebak untuk membantu nelayan, terkait adanya penyesuaian harga BBM. Sebab, dipastikan biaya produksi meningkat usai penyesuaian BBM tersebut ditambah cuaca buruk.

Dia berharap pemerintah daerah dapat memberikan bantuan kepada nelayan akibat naiknya harga BBM. "Kami dalam waktu dekat akan menggelar rapat bersama bupati," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement