Gitasmara Semesta, Nyanyi Hati Perindu Ilahi

Novel ini memiliki diksi kuat, gaya bahasa lugas diselingi kalimat estetis-persuatif.

Republika
Novel Dilarang Bercanda dengan Kenangan 2: Gitasmara Semesta karya Akmal Nasery Basral dari Republika Penerbit.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Astri Katrini Alafta S.S., M.Ed.

Membaca sebuah karya lalu mendapatkan penghiburan atasnya adalah sebuah kebahagiaan tak terkira. Bonus aktivitas membaca adalah kenyamanan kerja otak dan organ tubuh lainnya.


Sebuah penelitian yang dilakukan Mindlab International, Universitas Sussex, Inggris (2009) menyebutkan membaca buku adalah cara terbaik untuk relaksasi meski hanya enam menit karena bisa menurunkan stress hingga 68 persen. Ini jauh lebih baik dibandingkan mendengarkan musik, jalan santai atau minum teh/kopi. 

Jika karya yang kita baca memiliki keunggulan fakta, sarana dan tema, maka pembaca proses pembacaan menjadi semakin bermakna. Fungsi didaktif yang mendidik pembaca karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di dalam kisah bisa tercapai.

Novel Gitasmara Semesta (format e-book diluncurkan 11 Mei lalum format buku fisik menunggu kondisi memungkinkan) karya Akmal Nasery Basral adalah sekuel Dilarang Bercanda dengan Kenangan (2018) yang memenuhi fungsi  hiburan (pembacanya terhanyut mengikuti cerita hingga akhir), dan fungsi didaktif (kemampuan edukasi dengan nilai-nilai moral yang disajikan tanpa menggurui).

Novel ini memiliki diksi kuat, gaya bahasa lugas diselingi kalimat estetis-persuatif, menunjukkan kisah romansa tak hanya berjejal kata rayuan, tapi bisa berbobot dengan pesan dakwah, berdampingan dengan konten dunia Islam Internasional seperti perjuangan suku Kurdi dan kehidupan minoritas Muslim di Rumania yang langka diulas pengarang Indonesia lainnya.

Halaman awal langsung menggerakkan buhul-buhul jiwa murni pembaca mana pun: “Lagu terindah di semesta raya itu adalah nyanyi hati merindu Ilahi, semua tahu nadanya, tak semua tekun menyempurnakannya. Berlatihlah!”

Tokoh utama Johansyah Ibrahim mewakili pemuda metropolitan berpenampilan menarik, pendidikan tinggi, dari keluarga kelas menengah yang memiliki unsur kekerabatan kuat, sukses dalam karier, kuliah di luar negeri, namun pemahaman agamanya biasa saja --jika tak ingin disebut kurang. Semua nilai plus ternyata tak berdampak pada kisah asmaranya. Dua kali pernikahannya gagal meski kedua istrinya cantik, pintar, sukses bahkan memiliki karir internasional.

Petualangan asmara Jo pada pernikahan pertama dan keduanya yang gagal selalu dibayang-bayangi sosok wanita blasteran Rumania dan Kurdi bernama Aida Jderescu. Pertemuan pertama Jo dan Aida terjadi pada pemakaman Lady Diana Spencer di Inggris (1997) menyisakan perasaan mendalam bagi keduanya. Tatkala takdir mempertemukan mereka lagi setelah 9 tahun, ternyata Aida sang jurnalis The Jordan Times telah dipinang lelaki Aceh sesama relawan tsunami di Tanah Rencong.

Fakta pedih itu membuat Jo melakukan beberapa hal sederhana yang menuntun pada inayah-Nya. Alih-alih depresi dan melakukan pembenaran pada hal-hal syubhat atau haram, Jo mengubah ritme hidupnya untuk mengurangi luka hati. Setiap pulang kantor, dia menuju satu pondok pesantren di Cilodong dan i’tikaf sampai Subuh.

Menghabiskan waktu berdzikir, tadarus, ikut shalat tahajud satu juz bersama para santri. Bahkan mulai membaca terjemahan kitab lusuh Talbis Iblis karya Syekh Abdurrahman Abu al-Faraj bin Ali bin Muhammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi—lebih populer dengan panggilan Ibnu Jauzi—yang ditulis pada abad ke-6 H/12 M.

“Rutinkan membaca Alquran dan simaklah pesan-pesan dalam kitab ini. Insya Allah gundahmu hilang,” pesan Abah Nurhasan pemimpin Pesantren.

Pesan lain yang sangat mudah dilaksanakan dan berdampak besar pada hidup Jo adalah azzam-nya untuk menjaga wudhu setiap saat. Sejatinya, dua pesan penting ini tak hanya buat Jo, namun bagi semua generasi muda yang gampang galau.

Hal lain yang mengesankan pada Jo adalah bakti pada orang tua, dalam hal ini ibunya. Meski pada banyak hal mereka kadang tak satu pendapat, namun tak membuat Jo bersikap frontal. Ini penting menjadi pengingat bagi pembaca yang sering mengecilkan restu orang tua sebagai kunci keselamatan dunia akhirat.

Bahkan kalimat penuh makna yang Jo dan Aida pegang agar bisa mengikhlaskan takdir pahit: “Saya telah belajar bahwa cara mendapatkan kebahagiaan adalah dengan membatasi keinginan, bukan dengan berusaha melampiaskannya?” adalah pendalaman tasawuf luar biasa dari suluk batin yang mengalami berbagai turbulensi hidup.

Menelusuri alur penuh kejutan karya ini memberikan sinyal kuat bahwa ini bukan novel pop biasa. Fakta bahwa Gitasmara Semesta adalah metamorfosis dari cerpen (terdapat pada antologi Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku, 2006) menjadi dua novel tebal, menjadi bukti bagaimana ide cerita berkembang, memuai, melezat bersama waktu.

Pembaca dipikat dengan kepiawaian pengarang melakukan teknik tarik balik (backtracking) berkali-kali yang membuat kita menahan nafas karena terkejut dan kagum. Kekuatan cerita diramu dengan latar tempat dan sejarah yang tak mainstream. Setting tempat yang rinci membuat pembaca terpantik untuk mengunjungi tempat-tempat eksotik seperti Sami Abdulrahman Park atau Citadel of Erbil di Irak, kota Brașov di Rumania dengan Brașov Camii (Masjid Agung), alun-alun kota Piața Sfatului, Biserica Neagra atau Gereja Hitamnya, dan Bran Castle yang dikenal sebagai Kastil Pangeran Drakula.

Sejarah kehadiran Islam di Rumania menjadi tambahan informasi menarik. Islam dan peninggalannya sudah terlihat sejak 700 tahun terakhir di kawasan Dobrogea Utara (Northern Dobruja) di bibir pantai Laut Hitam. Wilayah ini pernah menjadi bagian Kekhalifahan Utsmaniyyah selama 4,5 abad (1420-1878).

Kisah masuk dan berkembangnya Islam melalui imigran Turki yang mengembangkan ajaran sufi di kawasan Balkan, membawa pembaca napak tilas sejarah perjalanan Islam di bumi Transylvania. Bahkan saat mengambil setting di Jerman, novel ini tak menyuguhkan kota terkenal seperti Frankfurt atau Berlin, melainkan Bielefeld yang tak banyak diketahui publik namun dinarasikan lengkap legenda Bielefeld Conspirasy yang mengasyikkan.

Beberapa pengarang mampu menyulap teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses mengarang ini disebut Sjklovski sebagai defamiliarisasi atau membuat teks menjadi asing dan aneh. Cara yang dipakai misalnya menunda, menyisipi, mengulur cerita sehingga takkan bisa ditanggapi secara ‘otomatis’. Hasilnya membuat pembaca bisa mengubah pandangannya tentang dunia yang dipahami sebelumnya.

Teknik ini dipilih Akmal Nasery Basral, yang memulai karier sebagai wartawan Gatra dan Tempo selepas kuliah di awal 90-an, dan sejak tahun 2010 menjadi penulis penuh waktu. Beberapa karya terakhirnya sebelum ini adalah Setangkai Pena di Taman Pujangga (2020), Te o Toriatte (Genggam Cinta) yang sedang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang (2019), dan Trilogi Imperia (Ilusi Imperia, Rahasia Imperia, Coda Imperia, 2014-2018). 

Latar belakang ilmu sosiologi dan ekonomi Islam yang merupakan pendidikan formalnya, membuat masalah sosial dipecahkannya dengan beragam ide brilian yang disisipkan ke dalam novel. Salah satu yang mengesankan saya adalah keinginan Aida untuk memiliki mahar dari Jo berupa  “10 pasang kambing yang sehat dan siap kawin, yang berarti 20 ekor kambing” (hal. 157).

Ide ini sekilas terdengar nyeleneh.  Namun ternyata ada alasan sejarah di belakangnya.

Sirah Nabawiyah mencatat bahwa mahar Rasulullah bagi ibunda Khadijah adalah 20 ekor anak unta. Sementara bagi Aida  tujuan akhir dari mahar yang ditetapkannya  adalah meminjamkan kambing-kambing tersebut ke 10 pesantren duafa, untuk menjadi hewan modal bagi mereka.

Setelah melahirkan, anak kambing diberikan kepada pesantren sebagai wakaf (yang harus dipelihara sampai dewasa dan siap kawin juga) sementara indukannya dipinjamkan kepada pesantren lain. Begitu terus. Bisa dibayangkan jika banyak pasangan Muslim yang akan menikah melakukan ide sederhana tetapi spektakuler ini, maka pernikahan mereka bukan hanya romantis namun berdampak positif bagi ekonomi umat.

Hal unik lain dari novel ini adalah isu medis yang tak hanya sebagai penambah intrik namun membangun hubungan sebab-akibat serta pengikat jalan cerita yang solid, bukan tempelan. GIST atau Gastrointestinal Stromal adalah penyakit ibu tiri Aida hingga mengantarkannya pada nafas terakhir ketika bermalam di rumah Tiara, atau kondisi Oligozoospermia yang dialami Jo sempat membuatnya merasa menjadi laki-laki tak sempurna.

Namun yang tak terduga bagi saya adalah operasi kraniotomi yang harus dijalani salah seorang tokoh kisah secara dramatis. Pemahaman medis serta penguasaan istilah sang pengarang hanya bisa dihasilkan dari riset yang tidak main-main.

Tentu saja tak ada karya yang sempurna. Ada  beberapa hal kecil yang terasa janggal dalam novel ini. Konflik internasional dan kultural masih membutuhkan pendalaman agar tak terasa dibuat-buat.

Misal ketika Jo bertemu dengan Saladin, seorang dengbêj atau penyair Kurdi yang memaksa Jo memanggil dirinya dengan panggilan Sal saja, atau panggilan Mos bagi Jo dari Aida yang nota bene seorang Kurdi.

Kebiasaan memanggil dengan singkatan nama bagi orang Indonesia adalah hal biasa, namun cara ini mustahil bagi budaya Kurdi sejauh yang saya ketahui. Begitu pula dengan pergerakan perjuangan suku Kurdi yang militan sekaligus agamis, menjadikan hal ini sebagai isu butuh pembahasan mendalam.  

Namun secara keseluruhan pembaca bisa menikmati kisah pencarian Jo menemukan cinta sejatinya. Sesungguhnya kisah cinta terbesar dalam buku ini adalah hakikat cinta sejati antara seorang ibu dengan anaknya. Akan selalu ada jiwa-jiwa mungil yang dikorbankan ketika pernikahan harus diakhiri dengan perceraian, atau ketika seorang anak yang tak diinginkan kelahirannya hadir ke dunia melalui tindak kekerasan seksual.

Maka pertemuan kembali insan-insan pecinta ini akan sangat mengharukan, menghadirkan secawan kisah yang  begitu harum saat direguk ketika kita membaca Gitasmara Semesta. Sebuah novel yang saya rekomendasikan untuk Anda.

Judul: Dilarang Bercanda dengan Kenangan 2: Gitasmara Semesta
Penulis: Akmal Nasery Basral
Penerbit: Republika Penerbit
Tebal: 488 halaman (cetakan 1, Mei 2020, e-book).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler