Digitalisasi Bank Syariah

Semakin canggihnya sistem teknologi membuat orang tak perlu lagi ke bank

Republika/Wihdan Hidayat
Layanan mobile banking salah satu bank syariah di Tanah Air.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, “One day we will see that banking is necessary, banks are not”, pernyataan Bill Gates pada 1994 sa at ini mulai terbukti. Semakin canggihnya sistem teknologi membuat orang tak perlu lagi ke bank.

Di negara maju, bank tak perlu memiliki ba nyak cabang. Jika dulu orang bisa menarik uang dan menabung menggunakan ATM, bertransaksi dengan kartu kredit dan kartu debit, saat ini orang dapat bertransaksi de ngan telepon genggam.

Banyaknya perusahaan teknologi finansial (tekfin) menawarkan jasa sistem pem bayaran, pinjaman daring, pengumpulan dana, membuat bank mau tak mau ikut mengembangkan digitalisasi perbankan jika tidak ingin mati seperti prediksi Bill Gates.

Bahkan, beberapa bank telah menawarkan jasa membuka tabungan yang tak mengharuskan nasabah pergi ke bank. Sehingga, otomatis orang hanya memerlukan telepon genggam untuk melakukan seluruh transaksi perbankan.

Hampir dipastikan, bank konvensional terutama bank besar, sanggup menuju Bank ing 4.0. BRI meluncurkan BRIspot berkonsep one stop service yang memungkinkan loan officer memproses kredit secara end-to-end, di mana dan kapan pun.

Aplikasi ini diklaim terbukti memper cepat turn-around-time proses pelayanan pinjaman mikro dari tiga hingga lima hari menjadi rata-rata kurang dari dua hari, dengan aspek mitigasi risiko terbaik.

BNI juga mendigitalisasi channel-channel- nya. Saat ini, calon nasabah mendapatkan kemudahan, seperti membuka rekening, mengajukan pinjaman melalui daring, tak perlu lagi ke gerai atau kantor cabang. Hal sama ada di bank swasta, seperti BCA dan Permata.

Jika bank konvensional telah bergerak ke arah digitalisasi, bagaimana dengan bank syariah?

Selama ini, bank syariah dikenal selalu meniru bank konvensional. Jika terus melakukan pendekatan sama, bisa jadi, ketika bank konvensional dianggap akan mati jika tak beradaptasi dengan perkembangan tek nologi, bank syariah akan mati duluan.


Sama halnya dengan digitalisasi perbank an pada umumnya, digitalisasi bank syariah paling tidak harus dapat mencakup tiga bisnis dasar bank syariah, yaitu pengumpulan dana, penyaluran pembiayaan, dan sistem pembayaran.

Untuk pengumpulan dana, beberapa bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) punya fitur buka rekening daring. Namun, belum bisa berlaku bagi nasabah yang benar-benar baru karena ketentuan verifikasi langsung oleh pegawai bank.

Padahal, pada era AI sudah banyak mekanisme untuk memverifikasi seseorang menggunakan berbagai metode biometrik canggih. Untuk penyaluran pembiayaan harus diakui, digitalisasi per bank an syariah mungkin masih kalah dibanding kan perusahaan tekfin.

Sepertinya, inovasi dalam hal ini harus terus dikembangkan karena banyak perusahaan tekfin terlilit kasus kredit macet, yang di perparah metode penagihan tak beretika yang menyebabkan izin baru untuk perusahaan sejenis harus ditunda sementara oleh OJK. Namun, khusus untuk perbankan syariah, mekanisme penyaluran pembiayaan masih perlu didesain ulang untuk memenuhi kesesuaian terhadap prinsip syariah sesuai idealisme ekonomi syariah.

Di sisi lain, untuk sistem pembayaran, persaingan sudah telanjur ketat dengan adanya dompet digital dan aplikasi pem bayaran, seperti Linkaja, OVO, Gopay, Dana, dan masih banyak lagi. Bagaimana mungkin bank syariah dapat bermain di sini?

Kolaborasi
Masalah utama yang membuat bank syariah sulit berinovasi di dunia digital adalah keterbatasan modal. Inovasi merupakan barang mahal sehingga bank syariah harus mencari cara agar dapat terus bersaing pada saat dan setelah era pandemi ini.

Salah satu strategi yang mungkin dapat diterapkan, kerja sama dengan perusahaan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perusahaan telekomunikasi hampir dipastikan memiliki teknologi canggih untuk mendukung digitalisasi perbankan.

Kolaborasi menjadi pilihan yang lebih baik daripada maju sendiri-sendiri. Saat ini, beberapa perusahaan telekomunikasi mulai memasuki industri keuangan. Linkaja, contohnya, merupakan anak perusahaan Telkomsel.

Namun, Linkaja baru mencakup satu bis nis dasar perbankan. Dua bisnis dasar lain nya, yaitu pengumpulan dana dan penyaluran pembiayaan belum terjamah. Meskipun sudah ada model Laku pandai, tidak terlalu menarik bagi perbankan dan masyarakat. Itu terbukti dari perkembangannya yang tak begitu pesat.

Padahal, dengan jangkauan hingga pelosok nusantara, perusahaan telekomunikasi ini dapat menawarkan jasa keuangan yang mampu meningkatkan inklusi keuangan. Untuk itu, saatnya bank syariah melakukan konsolidasi internal.

Bank syariah harus mendesain model bisnis baru dan melihat peluang kolaborasi seperti apa yang dapat ditawarkan kepada perusahaan teknologi, khususnya perusahaan telekomunikasi.

Jika model bisnis yang ideal ditemukan, dipastikan pangsa pasar dapat digarap de ngan baik dan membuat size industri perbankan syariah Indonesia lebih besar. Dengan begitu, dapat menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai the biggest Islamic digital banking di dunia.

PENULIS:
HARDINNI BACHMID, Sekretaris Eksekutif Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
RONALD RULINDO, Pemerhati Ekonomi dan Keuangan Syariah


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler