Terapi Hipotermia Bantu Pasien Covid-19 Lepas Ventilator

Hipotermia terapeutik juga digunakan dalam operasi jantung.

Tamas Kovacs/MTI via AP
Selang ventilator tergantung di ruang perawatan intensif rumah sakit. Meski tampak bermanfaat, ada risiko terapi hipotermia bagi pasien Covid-19.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekelompok dokter di New York, Amerika Serikat menemukan bahwa terapi hipotermia dapat membantu pasien Covid-19 di ruang perawatan intensif (ICU) hingga tidak perlu memakai ventilator lagi. Para dokter di Northwell Health's North Shore University di Manhasset terus memikirkan bagaimana mereka dapat mencegah virus SARS-CoV-2 merusak seluruh tubuh.

Ketika pasien yang sakit kritis memerlukan ventilator, peningkatan metabolisme mereka akan menurunkan otot-otot yang digunakan dan membuat sulit untuk bernapas, membuat mereka tidak bisa melepas ventilator. Kadar karbondioksida dan asam yang tinggi dalam aliran darah, bercampur dengan kadar oksigen yang rendah dan menjadikan hal mematikan (meningkatkan kemungkinan gagal organ).

Selain itu, meski tubuh pasien Covid-19 terlihat seperti sedang istirahat, demam tinggi, respons hiper-inflamasi, atau badai sitokin, dapat menyedot energi yang disebut respons hipermetabolik. Para dokter mengatakan kepada ABC News, mereka mengetahui jika menurunkan suhu tubuh maka akan menurunkan laju metabolisme, sehingga menghentikan tubuh mengeluarkan banyak energi.

Dilansir Fox News, kelompok tersebut menggunakan prosedur ini pada empat pasien yang sakit kritis yang diyakini hampir meninggal. Setelah 48 jam pengobatan, dengan mendinginkan tubuh hingga 34,5 derajat Celcius, para dokter menemukan bahwa terapi hipotermia berfungsi efektif.

Baca Juga


Keempat pasien memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi dan aktivitas metabolik yang berkurang. Dua di antaranya mampu bernapas tanpa ventilator.

Hipotermia terapeutik juga digunakan dalam operasi jantung. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa menurunkan suhu tubuh antara 32 hingga 36 derajat Celcius selama 24 jam akan membantu menjaga fungsi otak. Meskipun demikian, ada risiko terkait praktik tersebut, termasuk peningkatan perdarahan, kelainan elektrolit, dan timbulnya aritmia.

Selain itu, menormalkan suhu tubuh pasien dapat menimbulkan komplikasi berbahaya, termasuk kejang, pembengkakan otak, dan kadar kalium yang tinggi. Meskipun penelitian dan eksperimen menjelaskan metode pencegahan kerusakan organ tubuh karena Covid-19, para dokter juga memperingatkan peningkatan jumlah metabolisme tubuh belum tentu membuat pasien tetap hidup.

Terlepas dari ketidakpastian itu, kelompok peneliti tersebut mendapat persetujuan dari  Institut Penelitian Medis Feinstein untuk dapat mendaftarkan lebih banyak pasien penerima terapi hipoterima demi studi lebih lanjut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler