Tersangka Baru Kasus Pinangki Tunggu Fakta Baru Persidangan
Untuk sementara ini, kasus yang melibatkan jaksa Pinangki berhenti di tiga tersangka.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidikan dugaan penerimaan suap, dan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari, sementara ini, setop di tiga tersangka. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) berharap, dugaan tentang adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut, dapat terungkap di pengadilan. Direktur Penyidikan di JAM Pidsus Febrie Adriansyah mengatakan, pembeberan saat persidangan nantinya, dikatakan dapat membuka jalur baru penyidikan.
Selain Pinangki, hasil penyidikan saat ini, sudah menetapkan terpidana Djoko Tjandra sebagai tersangka pemberian suap. Dan politikus partai Nasdem, Andi Irfan sebagai tersangka perantara pemberian uang 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar), dari Djoko ke Pinangki.
“Di persidangan nanti, akan kita lihat keterangan tersangka-tersangka ini. Keterangan tersangka di pengadilan, akan menjadi alat bukti penyidikan baru yang terkait dengan keterlibatan pihak-pihak lain,” kata Febrie, pada Ahad (13/9).
Febrie menjelaskan, pemberkasan kasus saat ini, memprioritaskan tersangka jaksa Pinangki untuk segera disorongkan ke pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Menurut Febrie, Senin (14/9), Divisi Penuntutan di JAM Pidsus, berencana menjabarkan penerapan pasal-pasal yang dapat meyakinkan para hakim untuk memidanakan Pinangki. Sampai saat ini, penyidik meyakini Pinangki dapat dipenjara dengan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11, dan Pasal 12 a atau b, serta Pasal 15 UU Tipikor. Dan sejumlah pasal dari UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Sedangkan Djoko, dengan sangkaan Pasal 5 ayat (1) a, atau b, atau Pasal 13, dan Pasal 15 UU Tipikor. Adapun Andi Irfan, dijerat pasal penyuapan hakim Pasal 5 ayat (2), juncto ayat (1) b, atau Pasal 6 ayat (1) a, dan Pasal 15 UU Tipikor. Pasal 15 terhadap tiga tersangka tersebut, sebetulnya memberikan gambaran tentang adanya permufakatan jahat untuk melakukan korupsi berupa penyuapan, dan pemberian janji. Adapun Pasal 6, menguatkan permufakatan korupsi yang mengarah kepada upaya pemberian suap kepada hakim di pengadilan atau mahkamah.
JAM Pidsus Ali Mukartono, lebih dari tiga kali pernah menjelaskan, objek dari suap yang dilakukan ketiga tersangka itu, menyangkut tentang fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra. Ali akhir pekan lalu (11/9), pun membeberkan, penyidikan paralel di Bareskrim Polri, menguatkan dugaan adanya upaya pengaturan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakarta Selatan (Jaksel), sebagai basis rencana keluarnya fatwa di MA.
“Di sana, di Bareskrim, (penyidikannya) kaitannya, dalam rangka PK. Di sini (JAM Pidsus), fatwa,” kata Ali.
Karena itu, kata Ali, hasil penyidikan di JAM Pidsus, juga di Bareskrim saling berisiran, meskipun penanganannya terpisah. Tetapi, kata Ali, untuk sementara ini, belum ada arah maju penyidikan yang menguatkan alat bukti tentang keterlibatan para hakim, maupun pejabat yudikatif di PN maupun di MA dalam skandal tersebut.
“Belum sampai ke situ-situ (PN maupun MA). Karena, baru bermufakat (untuk menyuap hakim) saja,” terang Ali.
Di Bareskrim Polri, penyidikan skandal Djoko Tjandra, juga masih berkutat pada lima orang tersangka. Selain Djoko, Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo ditetapkan tersangka.
Djoko, dikatakan memberikan uang 20 ribu dolar AS (Rp 296-an juta) kepada dua jenderal tersebut, lewat perantara tersangka pengusaha Tommi Sumardi. Uang itu, diduga terkait dengan pengurusan surat, dan dokumen palsu, serta penghapusan status buronan Djoko Tjandra, di interpol Polri, dan Imigrasi.
Djoko Tjandra, terpidana korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 904 miliar. MA 2009, pernah memvonisnya dua tahun penjara.
Tetapi ia kabur ke Papua Nugini sehari sebelum putusan. Sebelas tahun buronan, pada Mei-Juni 2020, Djoko Tjandra, datang ke Indonesia. Tetapi tak ditangkap, dan berhasil kabur kembali. Keberadaannya di Jakarta dan Pontianak, mengungkap skandal hukumnya. Pada 30 Juli Bareskrim Polri, menangkapnya di Malaysia, dan dibawa pulang ke Indonesia untuk menjalani vonis MA pada 2009.