Omnibus Law Semakin Sudutkan Masyarakat Adat dan Hutan
Adanya UU baru itu, justru juga akan mengokohkan ekspansi HTI dalam penataan ruang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo, mengatakan, Omnibus Law akan lebih mudah menyudutkan masyarakat adat dan hutan. Khususnya, mengenai UU Penataan Ruang. Sebab, hutan produksi terbatas (HPT) akan legal untuk hutan tanaman industri (HTI).
Dikatakan Okto, ketika Omnibus Law jadi UU, perizinan terkait HTI juga akan menjadi masif di kawasan hutan-hutan HPT. Dengan dasar itu, ke depan, kriminalisasi masyarakat akan semakin lazim terjadi.
"Juga akan mudah mengkriminalisasi warga, karena setiap orang yang tidak tinggal sesuai peruntukannya, bisa dikenai sanksi sesuai denda dan pidana," kata dia dalam media briefing daring, Selasa (5/10).
Dia menegaskan, adanya UU baru itu, justru juga akan mengokohkan ekspansi HTI dalam penataan ruang. Okto menyontohkan, ada UU PPLH yang dikaji pihaknya, di antaranya adalah pasar 98 dan 99 tentang pencemaran baku mutu udara.
Pasal itu, ia sebut, selalu menjadi andalan untuk menjerat perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). "Tapi, dalam kajian kita, pasal ini sekarang mendahulukan sanksi administratif terlebih dulu," kata dia.
Dengan adanya hal itu, perusahaan ia sebut malah akan senang. Pasalnya, denda yang dilayangkan akan sangat sedikit nilainya, jika dibandingkan biaya pembukaan lahan baru.
"Perusahaan malah akan senang membakar lahan seluas-luasnya. Dan perusahaan hanya akan membayar denda, dan selesai," ucapnya.
Hal itu, kata dia, berbeda dengan denda yang akan diterima oleh masyarakat adat dan sekitarnya. Sebab, jika ada aturan yang disebut dilanggar dalam perubahan UU baru, denda akan terasa sangat berat bagi masyarakat.
"Misal denda Rp 1 miliar, dari mana mereka punya itu?. UU Omnibus Law hanya akan mengokohkan perusahaan berkepentingan," ucap dia.