Catatan Santri atas UU Ciptaker: 2 Sisi Mata Pisau?
Kalangan santri memberikan catatan terhadap UU Ciptaker.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Aguk Irawan MN*
Begitu UU Cipta Kerja disahkan DPR secara senyap pada tanggal 5 Oktober dini hari, hari berikutnya PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah dan beberapa organisasi kemasyarakatan bidang pendidikan secara kompak menolaknya. Selain karena UU ini dinilai hanya "daur ulang" UU kolonial tahun 1870, sebagaimana yang disinyalir Prof Greg Berton, juga memicu kontroversial.
Barton menelaah kemiripan RUU Cipta Kerja ini dengan Ordonansi Kuli Hindia Belanda, yang secara de jure sudah dihapus pada 1931. Maka wajar, lantas publik bertanya-tanya, ada apa dengan Republik ini?
Harianto Oghie, selaku Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan ancaman bagi pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Harianto tanpa ragu menolak komersialisasi dunia pendidikan, dan menyarankan agar klaster pendidikan dan kebudayaan harus dikeluarkan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
DPR memang sangat gegabah. Klaster pendidikan dan kebudayaan dimasukkan ke dalam UU Cipta Kerja. Hal ini telah menggeser politik hukum pendidikan menjadi rezim perizinan berusaha, melalui penggunaan terminologi izin berusaha pada sektor pendidikan, yang sesungguhnya tidak berorientasi laba.
Sejalan dengan Harianto Oghie, Pengasuh Pesantren Bima Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli, mengatakan, bahwa salah satu pasal yang paling merusak mentalitas dunia pendidikan adalah Paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal Pasal 65 ayat (1). Pasal ini berbunyi: “pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Pasal 65 tersebut melanggar UUD 1945 karena telah mengkomersialisasi pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban negara. Hal itu sudah diatur dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 amandemen mengatakan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Dengan memberikan izin usaha kepada para pengusaha untuk mengelola pendidikan, komersialisasi pendidikan sudah pasti terjadi. Kapitalisasi pendidikan tidak bisa dielakkan lagi. Mentalitas bangsa pun akan berubah. Seorang guru pergi ke sekolah untuk mencari upah gaji. Kehormatan seorang guru selevel dengan seorang buruh. Dan orang-orang yang belajar tidak lagi bisa disebut murid, siswa, mahasiswa(i). Lebih tepatnya: seorang konsumen/pembeli.
Sementara Pasal 32 ayat (1) UUD Tahun 1945 memerintahkan negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
RUU Cipta Kerja juga tidak bisa diterima, karena ia akan mengkapitalisasi pendidikan pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan menghilangkan sejumlah syarat dan standar bagi lembaga pendidikan asing yang akan menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.
Keberpihakan UU Ciptaker pada pasar berdampak buruk pada buruh. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja merusak spirit UU Ketenagakerjaan yang mengatur PKWT. Ketentuan baru UU Ciptaker memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. Pemerintah tega melegalkan aturan semacam itu.
Diperparah lagi oleh Pasal 79 ayat (2) huruf (b), dimana pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Sementara Pasal 79 menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja, walau telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Hanya demi kapitalis, rakyat kecil dikorbankan.
Ketidakberpihakan lain UU Ciptaker ini terlihat juga terkait hak penyandang disabilitas. Peneliti yang juga akademikus Pendidikan Luar Biasa dari Universitas Brawijaya, Slamet Thohari, mengatakan aturan dalam UU Cipta Kerja bertabrakan dengan UU Kerja Disabilitas dan mengembalikan posisi penyandang disabilitas seperti 20 tahun lalu.
Pertama, ketentuan mengenai pemenuhan fasilitas bagi penyandang disabilitas dalam UU Cipta Kerja hanya didefinisikan sebagai pembangunan infrastruktur, bukan penyediaan aksesibilitas sesuai kebutuhan ragam disabilitas.
Misalnya pembangunan ramp dan penyediaan hand railing saja, tidak ada penyediaan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu atau tuli dan tidak ada pembaca layar bagi penyandang disabilitas netra.
Kedua, penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas, seperti yang tercantum dalam Pasal 29 UU Peyandang Disabilitas, hanya diwajibkan bagi rumah sakit saja. Sementara untuk perusahaan tidak ada kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas.
Ketiga, banyak pasal yang menyebutkan kriteria pekerja atau pemimpin perusahaan harus sehat jasmani rohani. Ini ibarat penghinaan secara legal atas penyandang disabilitas.
Walau demikian, sisi positif UU Cipta Kerja ini juga memberikan terobosan yang luar biasa bagi pelaku usaha. Salah satunya berupa aturan terkait pajak deviden nol persen. Dengan adanya aturan deviden bebas pajak, investor diyakininya akan menginvestasikan uangnya ke Indonesia. Uang itu akan berputar di Indonesia, dan malah akan membuat produktif.
Pendirian usaha mikro, kecil menengah (UMKM) juga dapat angin segar. Karena Pamerintah mencoba melakukan perubahan dari sistem ketenagakerjaan dari yang rigit ke jalan tengah. Salah satunya pasal-pasal yang memudahkan usaha risiko kecil untuk langsung bekerja dan memulai usahanya, tanpa harus memikirkan izin usaha.
Dalam konteks ini, Pemerintah bisa diacungi jempol. Para pengangguran ditantang untuk kreatif dan menciptakan usaha terobosan, tanpa harus jadi buruh. Namun begitu, kekurangan terbesar UU Ciptaker ini tidak mengatur pasal-pasal yang memudahkan UMKM mendapatkan dana usaha dari perbankan.
*Pangasuh PP Baitul Kilmah Bantul dan Pengajar di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta