Utang Negara Termiskin Dunia Capai 744 Miliar Dolar AS

Hampir setengah dari semua negara berpenghasilan rendah terjebak permasalahan utang.

johndillon.ie
Utang/ilustrasi
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Bank Dunia mencatat, total utang luar negeri 73 negara termiskin di dunia sepanjang 2019 mencapai 744 miliar dolar AS, tumbuh 9,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai itu setara dengan rata-rata sepertiga dari gabungan pendapatan nasional bruto (Gross National Income/ GNI) mereka.

Data tersebut dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan Statistik Utang Internasional (IDS) terbarunya yang dirilis pada Senin (12/10). IDS kali ini memberikan data paling perinci dan agregat mengenai utang luar negeri sepanjang sejarah publikasinya selama tujuh dekade, sebagai bentuk tanggapan terhadap kebutuhan yang mendesak terhadap transparansi utang.

Presiden Bank Dunia David Malpass menyebutkan, laporan ini menggambarkan, hampir setengah dari semua negara berpenghasilan rendah sudah terjebak permasalahan utang atau setidaknya berisiko tinggi masuk ke jurang utang.

Kondisi tersebut patut menjadi catatan. "Sebab, beban utang secara tidak berkelanjutan berpotensi menyedot sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk mendanai krisis kesehatan dan mempercepat upaya pemulihan ekonomi," tutur Malpass dalam laporan IDS 2021, seperti dikutip Republika, Senin.

Sebanyak 73 negara termiskin yang dicatat dalam IDS merupakan negara-negara yang mendapatkan fasilitas Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (Debt Service Suspension Initiative/ DSSI) pada April. Fasilitas yang diinisiasi oleh kelompok 20 ekonomi utama atau G20 ini ditujukan untuk membantu negara termiskin dalam mengelola dampak pandemi Covid-19.

Bank Dunia mencatat, laju akumulasi utang negara-negara penerima fasilitas DSSI sebanding dengan Cina dan hampir dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan utang negara berpenghasilan rendah dan menengah lain.

Pertumbuhan utang luar negeri 73 negara termiskin yang signifikan ini menyoroti kebutuhan mendesak bagi kreditor dan peminjam untuk berkolaborasi guna mencegah peningkatan risiko utang negara di kemudian hari. Khususnya utang yang dipicu oleh pandemi Covid-19.

Malpass menyebutkan, peningkatan transparansi utang akan membantu banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam menilai serta mengelola utang luar negeri mereka melalui krisis saat ini. Menjalin kerja sama dengan pembuat kebijakan menuju kondisi utang yang berkelanjutan juga patut dilakukan.

"Untuk mencapai keberlanjutan utang jangka panjang, akan tergantung pada perubahan skala besar mengenai bagaimana pendekatan global terhadap transparansi utang dan investasi," kata Malpass.

Dalam mengatasi krisis utang saat ini, Malpass menekankan, pendekatan yang jauh lebih komprehensif sangat dibutuhkan. Pendekatan itu harus melibatkan penangguhan pembayaran utang serta upaya yang lebih luas, seperti restrukturisasi utang lebih cepat dan didasarkan atas transparansi utang.

Dari total 744 miliar dolar AS, total utang 73 negara termiskin kepada kreditor bilateral resmi mencapai 178 miliar dolar AS. Sebagian besar kreditor itu adalah negara-negara G20.

Cina tercatat menjadi kreditor terbesar di antara negara G20 lainnya. Kontribusi utang yang diberikan Negeri Tirai Bambu pada akhir 2019 mencapai 63 persen, naik signifikan dari 45 persen pada 2013. Selama periode yang sama, Jepang sebagai kreditor G20 terbesar kedua, porsinya tetap sama, yakni 15 persen.


Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler