Israel Setujui Pembangunan 2.166 Rumah di Tepi Barat
Langkah Israel dinilai memberikan pukulan terhadap perjanjian dengan UEA.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel telah menyetujui pembangunan 2.166 unit rumah di seluruh wilayah Tepi Barat yang diduduki pada Rabu (14/10). Itu merupakan pembangunan permukiman perdana sejak Israel menjalin normalisasi diplomatik dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
Menurut organisasi anti-permukiman Israel, Peace Now, persetujuan pembangunan itu menunjukkan bahwa Israel tetap menyangkal dan menolak eksistensi negara Palestina. “(Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu bergerak maju dengan kecepatan penuh untuk memperkuat aneksasi de facto Tepi Barat," katanya dalam sebuah pernyataan menjelang keputusan Rabu, dikutip laman Aljazirah.
Di sisi lain, Peace Now menilai pembangunan itu memberikan pukulan terhadap harapan perdamaian yang lebih luas antara dunia Arab dan Israel. Pada 15 September lalu, Netanyahu, Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, dan Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid Al Zayani menandatangani “Abraham Accord” di Gedung Putih, Amerika Serikat (AS).
Itu menjadi tanda resminya normalisasi diplomatik antara ketiga negara. AS merupakan mediator yang membantu terwujudnya hal tersebut. Kesepakatan normalisasi antara Israel dan UEA telah tercapai pada 13 Agustus lalu.
Menurut Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammad bin Zayed Al Nahyan kesepakatan normalisasi itu sengaja dibuat untuk membuat Israel menghentikan aneksasi terhadap wilayah Palestina. Di bawah kesepakatan dengan UEA, Israel memang sepakat menangguhkan rencana aneksasi Tepi Barat.
Namun Netanyahu menegaskan bahwa rencana tersebut tak sepenuhnya disingkirkan. Dia mengatakan akan tetap menjalin koordinasi dengan AS perihal pencaplokan Tepi Barat. Washington, melalui rencana perdamaian Timur Tengah yang disusun pemerintahan Donald Trump siap mengakui kedaulatan Israel atas seluruh permukimannya di Tepi Barat.
Dalam rencana perdamaian itu, Yerusalem tetap menjadi ibu kota Israel. Karena terlalu dianggap menyokong kepentingan politik Israel, Palestina telah menolak rencana tersebut.