Beda Kebijakan Macron dan Ardern Perlakukan Umat Islam
Kebijakan Macron justru berimbas negatif terhadap umat Islam Prancis
REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN – Kolumnis di Middle East Monitor, Dr Essam Youssef, menulis artikel tentang pandangannya soal Muslim Eropa dan bagaimana Prancis memperlakukan mereka.
Presiden Nazaha Foundation untuk Urusan Kemanusiaan dan Hukum itu menilai suara mayoritas Muslim di Eropa telah terpinggirkan, paling tidak ketika kejahatan yang sangat serius menyeret mereka ke dalam siklus analisis dan demonisasi.
Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang dengan ideologi isolasionis sedang mengatur insiden semacam itu untuk digunakan sebagai kartu politik, tanpa mempedulikan multikulturalisme yang menjadi dasar masyarakat Eropa, setidaknya secara nominal.
Di Prancis baru-baru ini Presiden Emmanuel Macron mencari keuntungan elektoral dari sayap kanan dengan mencoba menjelekkan Islam dan Muslim. Lebih dari enam juta warga Prancis adalah Muslim, menjadi kambing hitam yang siap pakai untuk segala macam penyakit sosial yang mengganggu sayap kanan.
Beberapa orang melihat ini adalah cara di mana Macron dapat mengalihkan perhatian dari gelombang kedua infeksi Covid-19 yang melanda Prancis, serta ekonomi yang menurun.
Ketika seorang guru bahasa Prancis terbunuh, tampaknya karena menunjukkan kepada murid-muridnya kartun yang diduga Nabi Muhammad SAW, keharmonisan sosial di Prancis juga menjadi korban.
Macron memantapkan komentarnya untuk membela kebebasan berekspresi, tidak terlalu memperhatikan perlunya melindungi orang dari bahaya fisik dan psikologis.
Harapan presiden Prancis terhadap sekularisme negara membuka pintu bagi serangan terhadap minoritas yang telah memainkan peran penting dalam pembangunan dan kebangkitan masyarakat dan komunitas di seluruh Eropa dan sekitarnya. Peran ini tidak boleh diremehkan.
Macron dapat dan seharusnya mengambil pelajaran dari cara Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatasi penembakan di dua masjid di negaranya tahun lalu. Dia berusaha untuk menyatukan negara, daripada menyoroti perbedaan, menyembuhkan luka daripada memperburuknya. Terus terang, Macron melakukan yang sebaliknya.
Kegagalan Prancis dalam hal ini dapat dilihat dalam statistik kejahatan rasial, terutama dan secara signifikan terhadap warga Muslim Prancis. The Collective against Islamophobia di Prancis mencatat dalam laporan terbarunya bahwa terdapat 1.043 insiden anti-Islam yang dilaporkan pada tahun 2019, meningkat 77 persen dari angka tahun 2017.
Jumlah tersebut termasuk 68 serangan fisik, 618 insiden diskriminasi, 210 insiden penghasutan kebencian rasial, 93 insiden pencemaran nama baik, 22 insiden perusakan tempat ibadah Muslim, dan 32 insiden diskriminasi terkait pemberantasan terorisme. Semua insiden ini dipicu politisi dan pendukung sayap kanan, lembaga resmi, media, dan intelektual.
Wacana populis di banyak negara Eropa telah meningkatkan Islamofobia, membuat warga Muslim ragu bahwa mereka memiliki masa depan di negara-negara tempat sebagian besar dari mereka mungkin dilahirkan. Namun, mereka memiliki keyakinan yang kuat yang berasal dari pencapaian mereka yang menjadi bukti kontribusi positif mereka kepada masyarakat.