Umat Islam Rayakan Pembatalan Larangan Imigrasi Trump

Pembatalan larangan imigrasi Trump dirayakan umat Islam.

EPA-EFE/Al Drago
Umat Islam Rayakan Pembatalan Larangan Imigrasi Trump . Foto: Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Rep: Muhyiddin Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saat pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) berlangsung pada 2020 lalu, umat Islam di Sudan duduk menunggu sepanjang malam di kota kecil mereka di selatan Khartoum. Dengan cemas, mata mereka terpaku pada televisi saat penghitungan suara diumumkan. Mereka berharap Donald Trump tidak terpilih lagi.

Setelah Donald Trump dinyatakan kalah pada Pilpres AS 2020, Monzir Hashim dan istrinya, Alaa Jamal, berpelukan dengan gembira dan meletus dengan ucapan ala pernikahan. Setelah dilantik sebagai Presiden, Joe Biden akhirnya membatalkan seluruh perintah era Trump yang telah melarang orang-orang di seluruh dunia, kebanyakan Muslim seperti dirinya, untuk memasuki AS.

Alaa menangis dengan gembira. “Akhirnya, kebahagiaan,” katanya melalui telepon seperti dikutip dari telegraphindia, Senin (25/1).

Beberapa orang asing menyambut kemenangan pemilihan Biden dengan antusias seperti puluhan ribu Muslim yang telah dikucilkan dari AS selama empat tahun terakhir sebagai akibat dari pembatasan imigrasi era Trump yang dikenal sebagai "Muslim Ban".

Berdasarkan penghitungan, 42.000 orang dicegah memasuki AS dari 2017 hingga 2019, sebagian besar dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Iran, Somalia, Yaman dan Suriah. Visa imigran yang dikeluarkan untuk warga negara tersebut turun hingga 79 persen selama periode yang sama.

Tindakan Trump itu pun telah menyisakan air mata dan bahkan darah. Misalnya, mereka terpaksa terpisah dari keluarganya selama bertahun-tahun, pernikahan dan pemakaman sangat sulit, karir dan rencana studi menjadi berantakan, dan tidak bisa melakukan operasi di AS.

Biden mengatakan dalam perintahnya bahwa tindakan Trump tersebut merusak keamanan Amerika, membahayakan aliansi globalnya dan menimbulkan kerusakan moral, sehingga mengurangi kekuatan Amerika sebagai negara teladan dunia.

Kendati demikian, bagi sebagian orang keputusan Biden tersebut mungkin agak terlambat. Karena, kebijakan Trump sudah terlanjur membuat seorang muslim dari Iran tidak bisa bertemu dengan orang tuanya hingga meninggal dunia.

Seorang mahasiswa pascasarjana ilmu saraf di Universitas Rhode Island, Negar Rahmani harus menunda kepulangannya ke Iran setelah adanya pembatasan imigrasi Trump. Untuk sementara, dia pun meminta orang tuanya untuk melakukan panggilan video sampai Presiden Amerika yang baru terpilih.

Kemudian pandemi melanda dan pada November 2020. Ibu Rahmani yang berusia 56 tahun di Iran harus dirawat di rumah sakit karena Covid-19. Namun, Jika Rahmani terbang pulang, dia berisiko dikucilkan dari AS untuk selamanya. Tetapi kondisi ibunya semakin memburuk hingga akhirnya meninggal dunia.

Sekarang, dalam sebuah wawancara Rahmani mengaku sangat menyesal tidak bisa pulang ke Iran ketika ibunya masih hidup. Dia pun merasakan sakit yang luar biasa oleh kebijakan Trump tersebut, yang membuatnya seperti burung dalam sangkar.

"Saya merasa seperti berada di dalam sangkar selama empat tahun," katanya sambil terisak. “Saya bisa kembali setiap musim panas. Ibuku bisa saja mengunjungiku. Saya merasakan larangan bepergian di tulang dan kulit saya,” ucapnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler