Sosiolog UGM: Sebagian Pekerja Pinjol Ilegal adalah Korban
Sebagian pekerja pinjol tidak tahu legalitas perusahaan tempatnya bekerja.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sosiolog Kriminalitas dari Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto menyebutkan bahwa sebagian para pekerja di perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal adalah korban. Sebab, mereka tidak tahu legalitas dan proses kerja perusahaan.
"Saya berharap pihak pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa sebagian di antara mereka itu adalah korban, korban dari ketidaktahuan bahwa itu ilegal," kata Soeprapto dihubungi di Yogyakarta, Senin.
Menurut Soeprapto, hingga saat ini tidak banyak pelamar pekerjaan yang mempertanyakan legalitas perusahaan pemberi tawaran lowongan pekerjaan, termasuk pinjol ilegal. Terlebih, proses rekrutmennya juga berlangsung secara daring.
"Saya yakin tidak ada satu pelamar yang mempertanyakan apakah lembaga itu legal atau tidak. Jadi begitu ada lowongan langsung daftar apalagi prosesnya secara 'online' (daring)," ucap dia.
Oleh sebab itu, Soeprapto meminta masyarakat tidak serta-merta memojokkan para pekerja yang direkrut perusahaan pinjaman daring ilegal. Selain minim informasi soal legalitas, mereka juga korban ketidaktahuan dari proses kerja perusahaan.
Soeprapto mengaku pernah mewawancarai tujuh orang debt collector berusia 25 hingga 35 tahun di Yogyakarta untuk penelitian. Dua di antaranya bekerja di perusahaan pinjaman daring.
Berdasarkan penelitian selama tiga tahun terakhir, Soeprapto menyimpulkan setidaknya ada tiga faktor yang memicu generasi muda berusia produktif terjebak pekerjaan pinjaman daring ilegal. Pertama, mereka menganggap bahwa pekerjaan pinjol sekadar sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan utama, terlebih proses seleksi yang tidak rumit.
Kedua, enggan melakukan pengecekan aspek legalitas perusahaan saat hendak melamar. Ketiga adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
"Lapangan pekerjaan makin terbatas, terlebih lagi di masa pandemi ini, mencari mata pencaharian itu tidak mudah jadi mereka lalu terlibat di sana," ujarnya.
Masih berdasarkan penelitian Soeprapto, para pekerja pinjaman daring sejatinya tak merasa nyaman dengan metode penagihan menggunakan kalimat kasar atau ancaman. Meski demikian, mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengikuti proses kerja yang telah ditanamkan pimpinan perusahaan.
"Saya sempat mewawancarai para collector itu. Ternyata sebetulnya tidak semuanya merasa nyaman dengan cara itu. Tetapi mereka punya kewajiban mengikuti apa yang 'didoktrinkan' pimpinan," ungkap Soeprapto.
Baca juga : Pakar UGM: Waspadai Pencurian Data oleh Perusahaan Pinjol