Moderasi Islam di Arab Saudi; Modernisasi atau Westernisasi?
Visi Arab Saudi 2030 yang dicanangkan MBS April 2016 bukanlah sekedar isapan jempol.
Pada Kamis (7/10/2021), klub sepakbola asal Inggris, Newcastle United resmi diakuisisi oleh Public Investment Fund (PIF), konsorsium investasi asal Arab Saudi yang diketuai oleh Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), putra mahkota Kerajaan Saudi. PIF berhasil menguasai 80% saham dari klub berjuluk The Magpies ini.
Pencapaian tersebut menjadi bukti bahwa visi Saudi 2030 yang dicanangkan oleh MBS pada 25 April 2016 bukanlah sekedar isapan jempol. Berbagai kebijakan âradikalâ diambil untuk mewujudkan visi tersebut. Sebutlah mulai dari pengarusutamaan gender dalam kehidupan sosial budaya, penanaman investasi besar-besaran, hingga berbagai kebijakan yang mendukung perbaikan dan peningkatn di sektor hiburan dan pariwisata. Seluruhnya adalah dalam rangka mendukung tercapainya visi tersebut.
Sejak 2017, yaitu sejak Raja Salman menobatkan MBS sebagai putra mahkota kerajaan, MBS bertekad untuk membawa perubahan pada Saudi. Bila selama ini Saudi dikenal sebagai negara yang ultrakonservatif, ekslusif, dan identik dengan Wahabisme, maka MBS menjanjikan Saudi yang inklusif, moderat, dan tak lagi puritan. MBS menjanjikan cara untuk memodernisir negara kerajaan tersebut adalah dengan kembali ke âIslam Moderatâ.
Apa yang dimaksud dengan Islam Moderat?
Islam moderat memiliki banyak definisi. Secara bahasa, moderat berarti tidak berlebih-lebihan atau berarti sedang. Moderat juga belakangan dapat didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman.
Dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah atau iâtidal. Hal ini diamini oleh sebagian ulama meskipun sebagian lainnya tidak setuju dengan persamaan ini. Padanan kata lainnya adalah tawassuth (tengah-tengah), iâtidal (adil), dan tawazun (berimbang). Beberapa pakar bahasa Arab menyebutkan bahwa kata tersebut juga berarti âsegala hal baik sesuai objeknyaâ. Sebagai contoh, âdermawanâ adalah sikap yang baik di antara âkikirâ dan âborosâ, sebagaimana kata âpemberaniâ yang berada di antara âpenakutâ dan ânekatâ.
Lawan dari dari moderat adalah berlebihan, extreme atau tatharruf. Ekstrem dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai ekstrem kanan (ultra konservatif) dan ekstrem kiri (liberal). Oleh karena itu, bila merujuk pada terma âIslam Moderatâ, maka yang dimaksud adalah ber-Islam dengan adil dan di tengah-tengah, tidak condong ke salah satu dari dua kutub ekstrem tersebut.
Dalam buku âModerasi Beragamaâ yang disusun oleh Kementerian Agama RI pada 2019, disebutkan bahwa prinsip dasar moderasi atau moderat adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Kedua prinsip tersebut perlu menjadi kerangka konseptual dalam mengaplikasikan beragama yang moderat, termasuk Islam.
Moderasi Arab Saudi; antara Modernisasi dan Westernisasi
Semenjak MBS mencanangkan Saudi menuju Islam yang lebih moderat, maka berbagai kebijakan dilakukan otoritas kerajaan Saudi untuk menuju ke arah tersebut. Dalam bidang pengarusutamaan gender, perempuan memiliki hak yang hampir setara dengan laki-laki. Mereka diperbolehkan untuk menyetir sendiri, menghadiri pertandingan olahraga di stadion, bepergian tanpa ijin wali, dan menginap di hotel sendirian. Pada 2019, perempuan juga diperbolehkan untuk menjadi tentara.
Demi menggaet para wisatawan dan turis asing, Saudi juga melonggarkan berbagai kebijakan mereka. Saudi melonggarkan aturan berpakaian turis untuk tidak memakai jubah panjang hitam atau abaya tetapi tetap harus berpakaian sopan. Selain itu, Saudi juga memberlakukan visa turis dan juga memperbolehkan para wisatawan asing untuk menginap di hotel tanpa ada surat nikah.
Di bidang hiburan, Saudi telah membuka bioskop, mengadakan konser musik, dan membangun taman hiburan. BTS, grup asal Korea Selatan menjadi musisi luar negeri pertama yang menggelar konser di Saudi pada 11 Oktober 2019. Selanjutnya, deretan musisi ternama seperti David Guetta, Jennifer Lopez, Mariah Carey, Andrea Bocelli, Enrique Iglesias, dan 50 cent juga mengadakan konser di negara ini.
Saudi juga mempersiapkan mega proyek membangun komplek yang berisi taman hiburan yang disebut Qiddiya. Kawasan ini memiliki luas mencapai 100 KM2 dan berisi lusinan sirkuit balapan seperti reli, rallycross, motocross, dan sebagainya. Di taman ini nantinya juga akan berisi rekreasi air dan salju serta petualangan taman safari.
Berbagai fasilitas tersebut dipersiapkan untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke Saudi. Mereka juga akan dimanjakan dengan berbagai perhelatan olahraga besar seperti Piala Super Italia 2018 dan 2019 yang dilaksanakan di sana, Piala Super Spanyol pada Januari 2021, Reli Dakar 2020 dan 2021, rematch tinju kelas berat antara Andy Ruiz Jr dan Anthony Joshua pada Desember 2019, Formula E pada Desember 2018 dan November 2019, serta Turnamen Golf Internasional Saudi pada Februari 2020.
Ke depannya, Saudi telah mencanangkan untuk menyelenggarakan balap mobil Formula 1 (F1) di negara kaya minyak tersebut pada 2023. Tak puas dengan F1, Saudi juga membidik penyelenggaraan Moto GP di sirkuit di kompleks Qiddiya. Saudi juga sudah bersiap untuk menjadi tuan rumah Piala Asia 2027 dan Asian Games 2034. Tentunya
Dikutip dalam Antara, lewat General Entertainment Authority yang didirikan pada 2016, sedikitnya 64 miliar dollar AS dialokasikan untuk musik, hiburan, olahraga, seni, dan film. The guardian menyebutkan bahwa dana yang telah dikeluarkan di bidang olahraga hingga 2021 mencapai 1,5 triliun dollar AS. Beberapa pengamat melihat fenomena tersebut sebagai bentuk sportwashing, yaitu upaya untuk menggunakan olahraga sebagai bentuk cuci tangan atas berbagai pelanggaran HAM di Saudi.
Berbagai gebrakan Saudi tersebut semakin mengubah citra ekslusif yang sebelumnya telah terpatri di negara kaya minyak tersebut. Manuver ekonomi yang dilakukan oleh MBS berimplikasi pada berbagai kebijakan politik yang diambil. Sebagaimana disebutkan oleh BBC, MBS juga memiliki andil dalam membawa negaranya dalam perang di Yaman, memenjarakan para aktivis hak-hak perempuan, ulama Islam yang (dianggap) konservatif, dan para penulis blog yang mengkritiknya. Bahkan, nama MBS sempat tersangkut dengan pembunuhan jurnalis yang kerap mengkritik pemerintah, Jamal Khashoggi, di Istanbul pada 2018.
Sejak September 2018, jaksa Saudi mengumumkan penalti berupa penjara selama lima tahun dan denda tiga juta riyal (Rp10,5 miliar) bagi siapa pun yang tertangkap basah membagikan apa pun di media sosial yang dianggap pemerintah dapat memengaruhi nilai moral dan ketertiban umum. Hal ini menunjukkan bahwa MBS tidak mentolerir berbagai perbedaan pendapat, khususnya yang bertolak belakang dengan pendapat pemerintah.
Namun, ia merasa tidak ada yang salah dengan itu. Sebagaimana dikutip dalam BBC, itu adalah bentuk harga yang harus dibayarkan bagi mereka yang tidak siap menerima dan menghalangi reformasi besar-besaran yang ia canangkan.
Berkaca dari seluruh fenomena di atas, maka dapat terlihat bahwasanya moderasi atau Islam moderat yang diwacanakan oleh MBS untuk Saudi masih perlu dikaji ulang. Berdasarkan definisi Islam moderat di atas, maka berbagai upaya yang dilakukan Saudi tersebut rentan berpindah dari satu kutub ekstrem menuju kutub ekstrem lainnya. Bila dahulu mereka berada di jalur ekstrem kanan, maka sekarang mereka menuju jalur ekstrem kiri atau liberal.
Menariknya, liberalisasi Saudi yang dicanangkan tidak sepenuhnya berjalan di seluruh sektor. Mereka diberikan kebebasan bila berimplikasi langsung pada penguatan investasi dan perekonomian. Namun, bila tidak sejalan, mereka tetap menunjukkan konservatisme. Dalam hal ini mereka tampak terjebak pada otoritarianisme dengan memberikan berbagai jeratan hukum bahkan penangkapan bagi mereka yang tidak seide dan sejalan dengan pemerintah.
Padahal, sejatinya dalam prinsip moderasi Islam, pemerintah harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan umatnya dan memberikan kebebasan berpendapat. Pemerintah yang baik bukanlah pemerintah yang tidak memiliki kritikan, melainkan mereka yang mendengarkan kritik yang membangun untuk perbaikan ke depannya. Hal ini menunjukkan âIslam Moderatâ yang dipopulerkan oleh MBS nyatanya (masih) sebatas pemanis arah manuver politik Saudi.
Dari segi ekonomi, berbagai dana yang dikeluarkan sangat besar dan berpotensi menimbulkan al-ghuluw atau at-tatharruf (berlebih-lebihan). Alih-alih digunakan untuk menyejahterakan rakyatnya, Saudi justru melebarkan sayap di bidang industri untuk memperkuat kekuatan politik Saudi di percaturan dunia. Salah satunya dengan resminya memiliki saham mayoritas di Newcastle United, merupakan bentuk menunjukkan eksistensi diri di industri olahraga yang lebih dulu dimasuki oleh negara tetangganya, Qatar, UEA, dan Bahrain.
Akhirnya, menarik untuk dinanti bersama bagaimana sepak terjang MBS dalam memodernisasikan Saudi ke depannya dan perubahan yang dihasilkannya. Sekilas, model modernisasi yang membabi buta dan menghalalkan berbagai cara tersebut dengan gaya kepemimpinan yang otoriter mirip dengan Mustafa Kemal Ataturk saat membawa Turki ke arah modernitas. Jadi, apakah Saudi akan menjadi âmodernâ atau justru âterbaratkanâ dan kehilangan identitas ke-Araban dan ke-Islamannya?