Menunggu Kabar Baik dari Konferensi Iklim PBB

Drat kesepakatan menyerukan lebih banyak pembiayaan melalui hibah, bukan pinjaman.

AP/Dita Alangkara
Seekor kucing berjalan melewati sebuah rumah kosong yang dikelilingi air akibat naiknya permukaan laut dan penurunan tanah di desa Sidogemah, Jawa Tengah, Senin (8/11/2021). Para pemimpin dunia berkumpul di Skotlandia pada pertemuan puncak iklim PBB, yang dikenal sebagai COP26, untuk mendorong negara-negara meningkatkan upaya mereka untuk mengekang perubahan iklim.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Jelang penutupan konferensi iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, delegasi mengintensifkan upaya mencapai kesepakatan untuk mengurangi pemanasan global. Pembicaraan akhir akan fokus pada anggaran untuk membantu negara berkembang mengatasi dampak terburuk perubahan iklim.

Baca Juga


Draf pertama kesepakatan COP26 yang dirilis Rabu (10/11) secara implisit mengakui bahwa komitmen yang ada saat ini tidak cukup untuk mencegah bencana iklim. Namun, belakangan muncul kejutan bahwa dua pembuang emisi karbon terbesar di dunia, China dan Amerika Serikat, bersepakat untuk meningkatkan kerja sama mengatasi perubahan iklim.

Kesepakatan itu mendorong harapan bahwa negara-negara peserta COP26 bisa memperkuat komitmen kolektif mereka pada Jumat (12/11). Draf baru diharapkan muncul beberapa jam ke depan.

"Pembiayaan iklim" atau bantuan bagi negara-negara miskin yang rentan terhadap banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global adakan menjadi fokus pembicaraan. Ketua konferensi asal Inggris, Alok Sharma, mengatakan kesimpulan dalam draf terbaru menunjukkan kemajuan "signifikan", tapi "kita belum sampai ke sana".

"Saya ingin menyampaikan pentingnya meningkatkan upaya pada hari ini agar kita mencapai apa yang kita perlukan untuk mewujudkan hasil substanstif tentang pembiayaan," kata dia.

Negara-negara berkembang menginginkan aturan lebih tegas mulai 2025 dan seterusnya. Negara-negara kaya gagal memenuhi janji 12 tahun lalu untuk memberikan 100 miliar dolar AS (Rp 1,4 kuadriliun) per tahun hingga 2020 untuk membantu menekan emisi dan mengatasi dampak kenaikan suhu.

Draf pada Rabu itu hanya "mendesak" negara-negara maju untuk "segera menambah" bantuan bagi negara-negara lebih miskin untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Drat itu juga menyerukan lebih banyak pembiayaan melalui hibah, bukan pinjaman yang menambah beban utang.

Target 100 miliar dolar yang meleset diharapkan tercapai tiga tahun kemudian. Janji dana sebesar itu, yang dianggap banyak pihak masih jauh dari memadai, dibagi menjadi dua bagian, yaitu untuk "mitigasi" dan "adaptasi".

 

Dana mitigasi digunakan untuk membantu negara-negara miskin melakukan transisi ekologis. Sedangkan dana adaptasi dipakai untuk membantu mereka menangani bencana iklim ekstrem.

Aspek yang lebih sering dipertengkarkan dikenal sebagai "kerugian dan kerusakan" akan memberi mereka kompensasi dari kerusakan akibat pemanasan global. Namun aspek tersebut tidak termasuk dalam 100 miliar dolar itu dan sejumlah negara kaya tidak mengakui klaim atas kerusakan apapun.

Negara-negara miskin mengatakan pajak karbon akan memberikan dukungan yang sangat penting. Namun, negara-negara kaya, termasuk di Uni Eropa, sepertinya tidak setuju.

Inggris, tuan rumah konferensi, mengatakan tujuan utama dari COP26 adalah menjaga harapan "tetap hidup" untuk membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat Celcius (1.5 Celcius) di atas level praindustri. Tujuan itu masih jauh dari jangkauan jika didasarkan pada komitmen negara-negara peserta saat ini untuk memangkas emisi.

Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa melewati batas itu akan membuat gelombang panas, badai, dan kebakaran hutan berdampak jauh lebih buruk dengan konsekuensi yang tak dapat diubah. Belum ada kejelasan apakah pembicaraan iklim di Glasgow telah menghasilkan kemajuan berarti dalam upaya mencapai target 1.5 Celcius.

Sejumlah lembaga pemikir mencermati kesepakatan dalam beberapa isu seperti deforestasi, pengendalian metana sebagai gas rumah kaca yang kuat, dan draf pada Rabu yang menyampaikan isu pembatasan bahan bakar fosil. Kalangan lain menunjuk pada komitmen dan linimasa yang tidak cukup jelas, terutama dari negara-negara pemicu polusi terbesar seperti China, India dan Rusia.

"Apa yang perlu kita ketahui adalah tindakan, khususnya tindakan dan pertanggungjawaban yang akan dilakukan," kata Lindsey Fielder Cook, perwakilan dari Quaker United Nations Office, sebuah organisasi non-pemerintah di bidang hak asasi manusia.

Pada Kamis, sebuah aliansi internasional yang bertujuan untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas menambah enam anggota baru. Namun aliansi ini tidak mendapat dukungan dari satu pun produsen bahan bakar fosil.

Kesepakatan AS-China pada Rabu menegaskan pengakuan bersama tentang perlunya menambah upaya untuk membatasi kenaikan suhu dalam satu dekade ke depan dan komitmen baru dari Beijing dalam pengurangan emisi dan perlindungan hutan. Di luar janji-janji konkret yang jumlahnya sedikit, kebanyakan pengamat sepakat bahwa yang terpenting dari kesepakatan itu adalah dua kekuatan besar yang kerap berselisih, kini bekerja sama.

"Kabar baik sebenarnya dari perjanjian itu adalah bahwa mereka berbicara, karena jika Anda melihat isinya, itu adalah serangkaian komitmen umum untuk menyepakati peta jalan bagi iklim," kata Menteri Transisi Ekologi Italia Roberto Cingolani.

Kelompok peneliti Climate Action Tracker mengatakan pekan ini sejauh ini semua janji negara-negara untuk memangkas gas rumah kaca, jika tercapai, akan membuat suhu bumi naik 2,4 derajat Celcius pada 2100. Sehari sebelum penutupan COP26 di Glasgow, Paus Fransiskus lewat sebuah surat menyampaikan peringatan kepada umat Katholik di Skotlandia bahwa "Waktunya hampir habis".

 

 

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler