Pengadilan Myanmar Vonis Jurnalis AS 11 Tahun Penjara

Redaktur pelaksana Frontier Myanmar divonis 11 tahun penjara dengan kerja paksa

AP Photo/Tatan Syuflana
Seorang aktivis memegang potret Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing yang rusak saat rapat umum menentang kudeta militer di Jakarta, Indonesia, Sabtu, 24 April 2021. Redaktur pelaksana Frontier Myanmar divonis 11 tahun penjara dengan kerja paksa. Ilustrasi.
Rep: Dwina Agustin Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Pengadilan di Myanmar yang dikuasai militer memvonis jurnalis asal Amerika Serikat (AS) Danny Fenster dengan hukuman 11 tahun penjara dengan kerja paksa,Jumat (12/11). Putusan itu berdasarkan hukuman maksimum dari tiga dakwaan.

Pengacara terdakwa Than Zaw Aung menyatakan pengadilan memutuskan Fenster bersalah karena menyebarkan informasi palsu atau menghasut, menghubungi organisasi ilegal, dan melanggar peraturan visa. Fenster menangis setelah mendengar hukuman itu dan belum memutuskan apakah akan mengajukan banding.

Putusan tersebut menjadi hukuman terberat di antara tujuh jurnalis yang diketahui telah dihukum sejak militer menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi pada Februari. Redaktur pelaksana media daring Frontier Myanmar ini pun masih menghadapi tuduhan terorisme dan pengkhianatan tambahan dengan kemungkinan menerima hukuman penjara seumur hidup.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price menyebut hukuman Fenster sebagai keyakinan yang tidak adil terhadap orang yang tidak bersalah. "Amerika Serikat mengutuk keputusan ini. Kami memantau dengan cermat situasi Danny dan akan terus bekerja untuk pembebasannya segera. Kami akan melakukannya sampai Danny kembali ke rumah dengan selamat ke keluarganya," ujarnya.

Hukuman keras adalah penolakan terbaru dari militer yang berkuasa atas seruan dari seluruh dunia untuk mengakhiri krisis politik Myanmar secara damai. Pemerintah menolak untuk bekerja sama dengan utusan yang ditunjuk oleh ASEAN untuk menengahi solusi. Junta pun tidak tunduk pada sanksi yang dijatuhkan oleh AS dan beberapa negara Barat lainnya.

Kepala hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet mengatakan hukuman Fenster dan hukuman keras yang diberikan adalah simbol dari penderitaan yang lebih luas dari para jurnalis di Myanmar. Mereka telah menghadapi penindasan terus-menerus sejak kudeta militer 1 Februari.

Menurut Bachelet, sedikitnya 126 wartawan, pejabat media, atau penerbit telah ditahan oleh militer sejak militer merebut kekuasaan. Sedangkan 47 masih ditahan, termasuk 20 orang didakwa melakukan kejahatan.

Sebanyak sembilan media telah dicabut izinnya, 20 lainnya harus menangguhkan operasinya. Lusinan jurnalis tetap bersembunyi karena surat perintah penangkapan yang luar biasa.

"Wartawan telah diserang sejak 1 Februari, dengan kepemimpinan militer jelas berusaha untuk menekan upaya mereka untuk melaporkan pelanggaran hak asasi manusia serius yang dilakukan di seluruh Myanmar serta tingkat oposisi terhadap rezim," kata Bachelet.

Menurut Bachelet, Myanmar dengan cepat kembali ke lingkungan pengawasan informasi, sensor, dan propaganda yang terlihat di bawah rezim militer di masa lalu. Dia pun mendesak otoritas militer untuk segera membebaskan semua jurnalis yang ditahan sehubungan dengan pekerjaan mereka.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendukung pandangan Bachelet. Dia menegaskan kembali bahwa jurnalis di mana pun, termasuk di Myanmar, harus diizinkan bekerja tanpa pelecehan dan pelaporan fakta tidak dan tidak boleh dilihat sebagai kejahatan.

Fenster ditahan di Bandara Internasional Yangon pada 24 Mei saat hendak naik pesawat untuk pergi ke daerah Detroit di AS untuk menemui keluarganya. Sidang atas tiga dakwaan awal terhadap Fenster diadakan di pengadilan di Penjara Insein Yangon yang terkenal, tempat dia dipenjara. Mereka tertutup untuk media dan publik dan laporan persidangan hanya berasal dari pengacara Fenster.

Baca Juga


sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler