Tarik-Ulur Pembahasan RUU TPKS Belum Beres
Panja RUU TPKS mengakui masih ada sembilan poin yang menjadi perdebatan antarfraksi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya mengakui pihaknya baru mencapai kesepakatan terkait judul. Terkait poin lain, masih menjadi perdebatan antara sembilan fraksi yang ada di dalamnya.
"Saya selaku sebagai Ketua Panja saya masih mengajak sekali lagi rapat sekaligus melakukan lobi-lobi, tapi sekali lagi biar publik terbuka mata. Ya mari bersama-sama kita awasi ini, kita ikuti ini," ujar Willy di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/11).
"Ini lah pertarungan politik, ini lah perbenturan politik siapa yang bersepakat siapa yang tidak," sambungnya.
Ia berharap, perdebatan opini terkait RUU TPKS tak berarti bahwa pembahasannya berhenti. Sebab, pembahasan RUU yang bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual itu sudah cukup jauh dilakukan oleh pihaknya.
"Jangan hanya kemudian karena faktor agitasi yang sifatnya emosional, yang sifatnya mengaduk-ngaduk emosi kita, memobilisasi opini, lalu kemudian UU ini patah. Sangat disayangkan, ini effort," ujar Willy.
Saat ini, panja baru menyepakati judulnya, yakni RUU TPKS, sedangkan masih ada sembilan poin yang menjadi perdebatan. Willy menjelaskan beberapa poin yang menjadi perdebatan, yakni perihal penempatan pencegahan.
Kedua, adanya fraksi yang meminta untuk memasukkan norma agama dan budaya dalam RUU TPKS. Ia menjelaskan, semua pendapat akan berusaha diakomodasi oleh Panja RUU tersebut.
"Pembahasan yang alot, yaitu tentang Pasal 6 dan 7 termasuk asas dan konsideran ada yang minta masukan norma agama dan norma budaya. Semua kita akomodir," ujar Willy.
Terakhir adalah adanya tumpang tindih aturan dalam RUU TPKS dan rancangan KItab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP). Sebab, pasal-pasal terkait kesusilaan dan kekerasan seksual sudah dibahas dalam RKUHP oleh Komisi III DPR.
"Kadang kita juga tidak bisa memisahkan mana yang mengeksploitir emosi publik dan mana yang berbicara substansial. Inilah yang harusnya dalam undang-undang menjadi aspirasi penting," ujar Wakil Ketua Baleg Fraksi Partai Nasdem itu.
Terkait nama sendiri, tujuh fraksi menyepakati nama RUU TPKS. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tak menyetujui nama tersebut. Anggota Panja Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf menjelaskan, pihaknya mengusulkan nama RUU Tindak Pidana Kesusilaan. Pasalnya, ada sejumlah pasal terkait kekerasan seksual terdapat dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Artinya barangnya (pasal terkait kekerasan seksual) ada, jadi kami usul kalau kita tetap mau seperti ini, dia harus disandingkan. Maka pasal penyeimbang yang kami sebut itu dia ada di RKUHP," ujar Al Muzzammil dalam rapat panja RUU TPKS, Rabu (17/11).
Ia menjelaskan, pasal-pasal terkait kesusilaan dan kekerasan seksual sudah dibahas dalam RKUHP oleh Komisi III DPR. Namun urung disahkan, karena polemik dari hadirnya pasal penghinaan terhadap presiden.
"Maka kami anggap apa yang kita lakukan sekarang menyisakan satu norma berbahaya, yaitu aspek non kekerasan menjadi satu yang tidak diatur. Kalau tidak diatur artinya itu menjadi sesuatu yang ditolerir, tidak ada sanksi," ujar Al Muzzammil.
"Kami sangat mendukung upaya kita untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual, tapi kita tidak boleh menyisakan satu ruang yang menjadi konsen sila pertama Pancasila," sambungnya.
Sementara, anggota Panja Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, pihaknya mengusulkan nama RUU Tindak Pidana Seksual. Alasannya, agar pelanggaran seksual baik yang memiliki unsur kekerasan maupun tidak, akan diatur di dalamnya.
"Judul mengenai tindak pidana seksual ini bisa gunakan yurisprudensi dari judul UU Tipikor yang di dalamnya mengatur pencegahan, peran serta masyarakat, jenis pidana seksual, dan lainnya," ujar Illiza. Meski Fraksi PKS dan PPP tak menyetujui, Badan Legislasi (Baleg) DPR tetap menyepakati nama RUU TPKS.