BNPT: Terorisme adalah Gerakan Manipulasi dan Politisasi Agama

Ekstremisme merupakan paham yang akan menuju terorisme.

VOA
BNPT: Terorisme adalah Gerakan Manipulasi dan Politisasi Agama
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menyebut terorisme merupakan gerakan manipulasi dan politisasi agama. Di sisi lain, ekstremisme merupakan paham yang akan menuju terorisme.

Baca Juga


"Para ulama yang tergabung dalam konferensi internasional 2021 lalu menyimpulkan definisi ekstremisme atau radikalisme adalah paham yang dibangun di atas manipulasi dan distorsi agama," ujar dia dalam kegiatan Halaqah Kebangsaan I yang digelar Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Rabu (26/1/2022).

Ia menyebut jika terorisme dibayangkan sebagai buah, maka radikalisme adalah pohonnya. Akar dari pohon tersebut merupakan paham atau ideologi takfiri. Sementara, batang, dahan, ranting dan daun merupakan indikasi dari tindakan-tindakan ini.

Salah satu indikasi dari radikalisme atau ekstremisme adalah anti-Pancasila dan pro-khilafah atau ideologi trans-nasional. Radikalisme agama merupakan gerakan politik dengan cara memanipulasi, mendistorsi dan mempolitisasi agama, untuk kepentingan kekuasaan yang tujuannya mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi mereka.

Indikator kedua, mereka sudah eksklusif dan intoleran pada keragaman atau perbedaan yang menjadi sunatullah. Batasan dari toleransi adalah intoleransi atas perbedaan.

"Kelompok radikal teroris yang memanipulasi dan mempolitisasi agama merupakan kelompok yang kurang piknik, sehingga tidak saling mengenal dan tidak mau memahami dan menghormati perbedaan. Mereka tidak mau memanusiakan di antara manusia yang berbeda, yang menjadi kodrat Ilahi," kata dia.

 

Lebih lanjut, indikasi ketiga dari radikalisme adalah anti pemerintahan yang sah. Sikap benci ini diperkuat dengan membangun ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah yang sah.

Adapun daun dari pohon radikal ini berarti mereka yang anti-budaya dan anti-kearifan lokal keagamaan. Mereka cenderung mengkafirkan orang-orang yang menjalankan budaya atau kearifan lokal keagamaan.

"Negara belum memiliki regulasi yang melarang semua indikasi dari pohon radikalisme. Namun, indikator ini akan menjadi buah terorisme jika mereka masuk dalam kelompok teroris, yang ditandai dengan sumpah baiat. Selanjutnya, mereka melakukan liqa dengan mengatur strategi aksi," ucapnya.

Densus 88 sebagai penindak disebut belum melakukan penangkapan meskipun dua alat bukti sudah dilakukan. Minimal, harus ada tiga alat bukti untuk membantu peradilan dalam melakukan vonis.

Adapun bukti ketiga yang harus dipegang oleh Densus 88 adalah sudah dilakukannya latihan perang dan menyiapkan senjata. Cara lainnya adalah kelompok ini sudah terlibat dalam pendanaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler