Digitalisasi dan Integrasi Data Wakaf Perlu Diperkuat
Potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 180 triliun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI) Irfan Syauqi Beik digitalisasi dan integrasi data wakaf perlu diperkuat. Ini sejalan dengan kajian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) terkait penguatan digitalisasi dan integrasi data wakaf nasional.
Hal itu ia sampaikan dalam talkshow Research Expose yang digelar BWI bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Jumat (28/1/2022). Dalam acara ini, pegiat wakaf membahas tema tentang "Desain Digitalisasi dan Integrasi Data Wakaf Nasional."
"Ini menjadi bahan masukan kebijakan, terutama bagi BWI untuk bagaimana supaya kualitas pengelolaan wakaf ini bisa terus kita tingkatkan dari waktu ke waktu," ujar Irfan dalam acara talkshow Reseach Expose.
Sebagai narasumber, Kepala Divisi Dana Sosial Syariah KNEKS, Urip Budiarto menjelaskan, pengembangan wakaf sekarang ini menjadi semakin penting. Karena, menurut dia, pemerintah telah berkomitmeb untuk terus mendukung pengembangan wakaf dan juga terus digulirkan sejak Januari 2021. Pada saat itu, menurut dia, Presiden Jokowi bahkan telah meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang.
"Ini menjadi bagian penting dalam menerjemahkan kembali komitmen pemerintah dalam mendukung pengembangan wakaf nasional, khususnya dalam bidang wakaf uang, mengingat tantangan terbesar hari ini dalam pengembangan aset wakaf adalah bagaimana kita memperoleh pendanaan yang lebih fleksibel," ucap dia.
Menurut dia, KNEKS sendiri selalu berharap wakaf ini bisa menjadi satu elemen yang mendukung, tidak hanya keuangan sosial tapi juga terintegrasi dengan keuangan komersial, baik di perbankan syariah maupun asuransi syariah. "Sehingga bisa memiliki levarage yang lebih dalam pengembannya ke depan," kata dia.
Lebih lanjut, dia pun mengungkapkan hasil kajian yang telah dilakukan KNEKS terkait pengembangan wakaf. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), kata dia, ranah wakaf saat ini sudah ada 420 ribu lokasi dengan 50.000 hektare.
"Ini merupakan angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan banyak negara lain," jelas dia.
Kendati demikian, lanjut dia, tantangannya juga ada. Misalnya, fokus dari wakaf tanah yang tersedia hari ini umumnya peruntukannya hanya untuk aset sosial, 70 persen untuk masjid dan mushalla, sebagian untuk pesantren, sebagian untuk makam, dan sebagian lagi untuk aset sosial lain.
"Masih sedikit yang memang terdata, baik yang sudah terkembangkan atau akan dikembangkan dalam konsep wakaf produktif," ujar Budiarto.
Menurut dia, BWI juga telah merilis bahwa potensi wakaf uang di Indonesia adalah Rp 180 triliun per tahun. Namun, kata dia, sampai hari ini tantangannya juga masih banyak.
Dalam rangka mendukung optimalisasi pengembangan wakaf, menurut dia, pada tahun kemarin KNEKS akhirnya berbicara tentang pendalaman digitalisasi dan integrasi data wakaf nasional. Menurut dia, KNEKS telah merumuskan rekomendasi konsep digitalisasi dan integrasi data wakaf nasional dalam pengelolaan wakaf produktif nasional, baik wakaf tidak bergerak maupun wakaf bergerak berupa uang.
"Dalam realita ini bagiamana kita kemudian bisa mengembangkan suatu proses digitalisasi dan integrasi, sehingga ada satu database yang nanti dimungkinkan akan mendukung pengembangan wakaf uang," ucap dia.
Dia mengatakan, KNEKS ingin mengambangkan digitalisasi atas wakaf tanah, wakaf uang, dan juga wakaf melalui uang yang langsung dikelola oleh nazir. Karena, KNEKS masih menemukan banyak kekurangan dalam pengembangan wakaf nasional.
Dalam wakaf tanah misalnya, KNEKS menemukan belum adanya integrasi data antar sistem, baik antara Kemenag dengan BWI maupun dengan BPN. "Meskipun, kemudian ada sistem informasi wakaf nasional, yang ini diinput oleh KUA kecamatan untuk kemudian dikonsolidasi di pusat. Nah, tapi secara umum sistem ini masih berdiri sendiri dan masih perlu penguatan," kata dia.
Selain itu, menurut dia, datanya yang diinput juga seringkali tidak konsisten, belum berbasis geospasial, dan belum ada informasi yang dibutuhkan untuk pengembangan bisnis produktif.
"Jadi, katakanlah SIWAK Kemenag bisa memberikan data satu aset tanah wakaf di daerah Bogor misalya, tapi titiknya di mana, luasannya berapa, potensi lahannya akan dibangun seperti apa, ini yang relatif tidak cukup dalam untuk kita bisa mengkaji," jelas dia.
Kemudian, lanjut dia, dalam wakaf uang relatif juga masih sangat dini secara sistem. Menurut dia, hari ini masih belum mempunyai sistem laporan online dari LKSPWU ke Kemenag ataupun otoritas lainnya. "Jadi relatif sangat manual laporan wakaf uang. Lalu, penyaluran juga belum terlaporkan secara baik," kata Budiarto.
Sementara, dalam konteks wakaf melalui uang yang sifatnya dikelola nazir, juga belum ada sistem laporan pengumpulan yang komprehensif. Menurut dia, setiap nazir saat ini umumnya memliki sistem sendiri, sehingga tidak terstandar dan belum bisa dijadikan sebagai basis pelaporan yang cukup mudah untuk ditarik. "Kemudian laporan pengelolaan dan penyaluran juga belum tersistem dengan baik di wakaf melalui uang," jelas dia.
Karena, tambah dia, semua itu menjadi catatan utama bahwa sebenarnya walaupun sistem itu ada di wakaf tanah, wakaf uang, maupun di wakaf melalui uang, tapi sistem itu tidak berdiri dalam satu singkronisasi.
"Sehingga tentu buat kami di KNEKS sebagai lembaga nonstruktural, punya kebutuhan untuk memiliki data yang lebih baik di masa depan, sehingga pengembangan kebijakan lebih baik dari hari ke hari dan mengacu pada realitas yang ada," kata Budiarto.