Tim Ekskavasi Situs Srigading Temukan Relief yang Menggambarkan Muka
Temuan ini diduga dibangun sekitar pada abad kesepuluh.
REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur (Jatim) masih melakukan ekskavasi di Situs Srigading dari 7 Februari sampai 12 Februari 2022. Pada kegiatan ekskavasi ini, Tim BPCB Jatim membuka gundukan tanah sekitar 10 x 10 meter. Dari hasil pembukaan, tim menemukan satu sudut bangunan yang menyerupai candi.
"Ada profil half moon layaknya arsitektur candi sehingga pihaknya menyimpulkan sementara seperti itu," kata Ketua Tim Ekskavasi Situs Srigading, Wicaksono Dwi Nugroho yang akrab disapa Wicak ini saat ditemui di lokasi ekskavasi, Kamis (10/2/2022).
Wicak menduga Situs Srigading di Dusun Manggis, Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang merupakan bangunan candi. Temuan ini diduga dibangun sekitar pada abad kesepuluh atau masa Kerajaan Mataram Kuno.
Pada bukaan tanah situs juga terlihat banyak sekali pecahan atau runtuhan bata. Kondisi ini menandakan candi ini memiliki bagian bawah (kaki), badan dan atap. Bagian badan dan atap candi diduga runtuh dan berserakan di semua sisi candi. Kemudian hanya menyisakan bagian kaki dan tengah yang di dalamnya terdapat arca yoni.
Selanjutnya, tim juga menemukan satu profil relief yang menggambarkan muka dengan penutup kepala. Berdasarkan hasil identifikasi sementara, relief tersebut menunjukkan gaya bas relief atau natural dengah bentuk wajah begitu muncul. Hal ini berbeda dengan jenis bas relief Jawa Timuran yang biasanya berbentuk pipih seperti wayang. "Dan itu mencirikan gaya-gaya relief Mataram Kuno, sekitar abad ke-10," ungkapnya.
Wicak juga menduga candi ini masih berkaitan dengan prasasti Linggasutan yang ditemukan di Dusun Lowokjati. Lokasi prasasti ini tidak jauh dari Desa Srigading. Tim menduga desa ini luas sebelum terjadi pemekaran seperti sekarang.
Prasasti Linggasutan sudah dipindahkan pada masa Belanda. Kemudian prasasti saat ini telah berada di Museum Nasional dengan nomor inventaris D103.
Menurut Wicak, prasasti tersebut berisi permohonan dari Rakai Hujung (penguasa daerah) untuk dilaksanakannya pembebasan pajak di Desa Linggasutan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan pemujaan bangunan suci Bhatara i Walandit. "Apakah bangunan suci Bhatara i Walandit itu merujuk pada candi yang kita temukan di Srigading ini, ini yang masih terus kami telusuri," kata Wicak.
Namun berdasarkan ciri-ciri arca yang ditemukan, candi di Srigading ini mempunyai gaya Mataram Kuno. Hal ini sesuai dengan isi prasasti Linggasutan yang ditulis pada 929 masehi atau era Mpu Sendok.
Serupa dengan gaya relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan, ukuran bata di Situs Srigading juga cukup besar. Bata setidaknya mempunyai panjang 15 centimeter (cm), lebar 22 cm dan tebal sekitar 10 sampai 11 cm. Sebab itu, pihaknya mengidentifikasikan bata ini berasal dari masa pra-Majapahit atau Mataram Kuno.
Jika dilihat letak arah bangunan, candi ini berada di tengah-tengah empat gunung suci. Keempat gunung tersebut, yakni Gunung Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Kawi. Menurut Wicak, orientasi letak bangunan candi ini sangat mengikuti arah gunung suci di sekitarnya.
Jika indikasinya memang ada tangga di bagian sisi barat, candi ini kemungkinan menghadap ke Gunung Arjuna dan membelakangi Gunung Semeru. Jika demikian, maka ini agak cocok dengan isi prasasti Linggasutan. Candi ini ditunjukkan untuk menjadi tempat pemujaan bagi Bhatara i Walandit atau suatu tokoh yang disebut Walandit.
Walandit sendiri merupakan kisah yang sangat menarik dalam dunia sejarah. Sejarah Malang banyak menyebutkan nama tersebut di sejumlah peninggalan sejarah. Bahkan, Suku Tengger menyebut bahwa mereka sebenarnya asli suku Walandit.