Senada dengan MUI DIY, MPU Aceh: Hewan Terpapar PMK tak Bisa Jadi Qurban

Syarat hewan bisa menjadi qurban adalah bebas dari penyakit termasuk PMK.

Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi hewan kurban, Syarat hewan bisa menjadi kurban adalah bebas dari penyakit termasuk PMK
Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH— Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menyatakan ternak sakit seperti terkena penyakit mulut dan kuku (PMK) tidak bisa dijadikan hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha, karena tidak memenuhi syarat.

Baca Juga


Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali, di Banda Aceh, Selasa(24/5/2022), mengatakan qurban hewan merupakan ibadah. Jadi, hewan yang dijadikan hewan qurban harus benar-benar sehat.

"Syarat hewan qurban harus benar-benar sehat, tidak ada yang cedera di bagian tubuhnya, termasuk umur hewan yang dijadikan qurban harus memenuhi persyaratan," kata Tgk H Faisal Ali.

Begitu juga dengan hewan ternak yang terkena penyakit mulut dan kuku atau PMK, kata Tgk H Faisal Ali, jelas tidak bisa dijadikan hewan qurban. Hewan yang terkena PMK bisa dilihat dari liur yang keluar serta kuku mengelupas.

Menurut Tgk H Faisal, kendati daging hewan ternak yang terkena penyakit mulut dan kuku aman dikonsumsi, secara fisik hewan tersebut tidak sehat karena mengeluarkan liur tidak biasa dan sakit di bagian kuku.

"Kurban ini ibadah, bukan sekadar dagingnya aman dikonsumsi. Ternak yang kakinya patah saja tidak bisa jadi hewan qurban. Padahal, dagingnya layak dan aman dikonsumsi," kata Tgk H Faisal Ali.

Karena itu, Tgk H Faisal Ali yang akrab disapa Lem Faisal mengingatkan masyarakat agar memilih hewan qurban yang benar-benar sehat, termasuk tidak terkena penyakit mulut dan kuku.

"Kami juga meminta pemerintah segera menuntaskan penyakit mulut dan kuku yang sedang mewabah maupun penyakit ternak lainnya, sehingga masyarakat, khususnya peternak tidak dirugikan," kata Tgk H Faisal Ali. 

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah menerima permintaan fatwa dari pemerintah terkait penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan. Permintaan fatwa ini berkaitan dengan persiapan pelaksanaan Idul Qurban 1443 H. 

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat KH Miftahul Huda menyampaikan, permintaan fatwa merupakan kelanjutan dari hasil rapat koordinasi persiapan pelaksanaan qurban 1443 H di tengah wabah PMK pada 13 Mei lalu. Hal ini mengingat angka kesakitan PMK sangat tinggi dengan tingkat penularan yang cepat. 

"Kami akan melakukan pendalaman materi pada hari Jumat besok. Dan secepatnya diumumkan jika sudah tuntas," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa.    

Kiai Muftahul mengatakan, pemerintah menjelaskan adanya potensi sebagian besar hewan qurban di daerah wabah dan tertular berada dalam kondisi sakit atau menunjukkan gejala klinis PMK.

Dalam kondisi ini, pemerintah memerlukan pemaparan soal apakah hewan yang sakit, khususnya yang berada di daerah wabah dalam situasi kedaruratan, itu layak digunakan digunakan sebagai hewan qurban. 

Pemerintah melalui kementerian atau lembaga terkait, lanjut Kiai Miftahul, juga menyinggung tentang pengendalian PMK dengan vaksinasi sehingga hewan harus diberi tanda berupa eartag dan barcode. Dampaknya telinga menjadi berlubang dan bertato. Dalam kondisi ini, pemerintah meminta fatwa soal apakah hewan tersebut layak sebagai hewan qurban.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan, MUI akan mendalami seperti apa PMK dan sejauh mana tingkat bahayanya. Termasuk apakah PMK berdampak bagi kesehatan dan sejauh mana mudharatnya. 

"Apakah mudharatnya sampai menjadi faktor yang menghalangi hewan untuk bisa sah sebagai qurban atau tidak, itu kita dalami. Jadi tidak bisa buru-buru langsung berkesimpulan sebelum ada pemahaman utuh," tuturnya. 

Pada prinsipnya, terang Kiai Asrorun, ibadah qurban masuk kategori ibadah mahdlah dan merupakan cerminan ketertundukan dan kepatuhan seorang Muslim kepada Allah SWT. Terikat tata cara tertentu, waktu tertentu, dan jenis hewan tertentu. Pelaksanaannya pun harus mengikuti syarat dan rukunnya. 

Kiai Asrorun menambahkan, pelaksanaan ibadah qurban juga harus dipastikan mendatangkan maslahat dan mencegah terjadinya mudharat. Karena itu, hewan yang akan dijadikan hewan qurban harus memenuhi syarat, termasuk syarat minimal usia, kondisi fisik, dan kesehatan.   

Sebelumnya,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta masyarakat menghindari hewan ternak baik sapi, kambing, atau kerbau yang terpapar atau bergejala penyakit mulut dan kuku (PMK) untuk kurban.

"Hewan terpapar PMK itu kan berpenyakit, kalau ada hewan yang sehat sebaiknya kita tidak menggunakan hewan sakit karena akan berdampak pada hal-hal yang mudharat," kata Ketua Komisi Fatwa MUI DIY, KH Makhrus Munajat, saat ditemui di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (20/5/2022).   

Baca juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat

Terlepas dari kemunculan wabah PMK, kata Makhrus, sesuai syariat Islam dalam berqurban masyarakat memang diwajibkan memilih hewan yang sehat, tidak cacat fisik serta cukup umur.

"Bahkan yang (cacat) fisik pun kita tidak boleh misalnya tanduk hilang, hewan yang ekornya putus, telinganya hilang satu juga tidak boleh," kata dia.

 

Karena itu, selama masih ada hewan yang sehat dia meminta masyarakat tidak memilih hewan yang terpapar maupun bergejala PMK, termasuk yang terkena antraks atau cacing hati.       

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler