Dugaan Penyelewengan Dana ACT Bisa Berujung Pembekuan Izin
Kemensos akan segera memanggil petinggi ACT terkait dugaan penyelewengan dana.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Umar Mukhtar, Fuji Eka Permana
Dugaan penyelewengan dana donasi umat oleh pimpinan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuat Kementerian Sosial (Kemensos) akan segera melakukan pemeriksaan. Izin operasi ACT bisa terancam dicabut jika terbukti melakukan pelanggaran.
"Kementerian Sosial akan memanggil pimpinan ACT, yang akan dihadiri oleh tim Inspektorat Jenderal untuk mendengar keterangan dari apa yang telah diberitakan di media massa dan akan memastikan, apakah ACT telah melakukan penyimpangan dari ketentuan. Termasuk menelusuri apakah terjadi indikasi penggelapan oleh pengelola," kata Sekretaris Jenderal Kemensos Harry Hikmat dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/7/2022).
Inspektorat Jenderal Kemensos, kata Harry, berwenang melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Beleid tersebut juga memberikan Kemensos wewenang untuk mencabut maupun membatalkan izin PUB suatu lembaga.
Harry menyebut, jika dalam pemeriksaan pimpinan ACT nanti ditemukan indikasi penyimpangan dan penggelapan, maka Kemensos akan membekukan sementara izin PUB lembaga ACT hingga proses pengusutan rampung. Jika pada akhirnya indikasi itu terbukti benar adanya, maka Kemensos akan menjatuhkan sanksi berupa teguran secara tertulis, penangguhan izin, hingga pencabutan izin.
"Bahkan bisa ditindaklanjuti dengan sanksi pidana. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Harry.
Kasus ACT mencuat ke publik akibat laporan Majalah Tempo yang menyebut ada dugaan penyelewengan dana sumbangan masyarakat. Laporan itu menyatakan, dana donasi umat digunakan untuk kepentingan pribadi para pejabat lembaga tersebut beserta keluarganya.
Besaran gaji para pejabat ACT juga jadi sorotan. Dalam laporan itu disebutkan bahwa gaji Ketua Dewan Pembina ACT disebut-sebut sekitar Rp 250 juta. Sedangkan pejabat di bawahnya seperti Senior Vice Presiden menerima sekitar Rp 150 juta, Vice Presiden Rp 80 juta, direktur eksekutif Rp 50 juta, dan direktur Rp 30 juta per bulan.
Presiden ACT Ibnu Khajar menampik besaran gaji tersebut dan tak tahu-menahu mengenai besaran yang diungkap media itu. Tapi, ia enggan membuka berapa besaran asli yang diterima para petinggi ACT.
Ketua Umum Forum Zakat (Foz) Bambang Suherman menyampaikan, konstruksi regulasi dan mekanisme pengawasan bagi organisasi pengelola zakat (OPZ) di Indonesia sangat ketat dan rigid. Berdasarkan Undang-Undang 23/Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, terdapat mekanisme pengawasan yang berlapis dan melibatkan pemangku kepentingan yang beragam.
"Seperti Kementerian Agama, Baznas, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lain sebagainya yang turut meminimalkan potensi penyelewengan dana publik serta peluang conflict of interest di dalam tubuh organisasi pengelola zakat," kata dia dalam keterangan pers yang diterima, menyikapi maraknya isu yang beredar terkait pengelolaan dana kedermawanan sosial keagamaan, Selasa.
Bambang menuturkan, mekanisme pengawasan OPZ terdiri dari pengawasan internal. Mencakup audit internal serta pengawas syariah yang terakreditasi oleh MUI. Kemudian mekanisme pengawasan eksternalyang melibatkan audit kepatuhan syariah oleh Kementerian Agama, dan pelaporan rutin per semester kepada Baznas.
"Lebih lanjut, regulasi juga mewajibkan setiap OPZ untuk diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan mempublikasikannya melalui kanal komunikasi yang tersedia," ujarnya.
Forum Zakat, sebagai asosiasi yang menaungi 196 OPZ di Indonesia, juga menyampaikan bahwa saat ini telah tersusun dan disahkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang pengelolaan zakat sebagai wujud nyata penguatan ekosistem zakat yang menjunjung tinggi transparansi pengelolaan keuangan dan akuntabilitas program serta manajemen organisasi pengelola zakat.
"Penggunan alokasi dana operasional OPZ diatur sangat ketat mengacu pada Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2020 tentang Amil Zakat dan Keputusan Menteri Agama Nomor 606 tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah yaitu tidak melebihi 1/8 atau 12,5 persen dari jumlah penghimpunan dana zakat dan 20 persen dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dalam satu tahun," jelas Bambang.
Bambang juga mengatakan, konstruksi regulasi, mekanisme pengawasan, kode etik lembaga, serta standar kompetensi tersebut hanya berlaku bagi OPZ di bawah payung hukum Undang-Undang 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Di luar entitas tersebut, payung hukum dan mekanisme pengawasan yang dijadikan acuan berbeda serta tidak menjadi bagian dari ekosistem zakat.
"Dalam hal ini, Forum Zakat menyatakan ACT (Aksi Cepat Tanggap) bukan bagian dari organisasi pengelola zakat," paparnya.
Bambang menekankan, tingkat kepatuhan dan kedisiplinan OPZ terhadap regulasi, mekanisme pengawasan, kodeetik, serta standar kompetensi pengelolaan zakat menjadi titik tumpu yang turut menyumbang tumbuh kembangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana kedermawanan publik melalui OPZ. Hal tersebut mendukung upaya pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan di pelosok negeri.
Anggota Forum Zakat dalam Pemulihan Ekonomi Nasional 2021, lanjut Bambang, turut berkontribusi kepada masyarakat terdampak Covid-19 di 34 provinsi, dengan total penerima manfaat mencapai 3.05 juta jiwa yang terbagi pada tiga sektor. Tiga itu ialah sektor UMKM kepada 323.850 jiwa penerima manfaat ekuivalen dengan 32.385 UMKM, sektor Kesehatan yang berkontribusi terhadap 763.570 jiwa penerima manfaat, dan sektor Perlindungan Sosial yang memberikan manfaat kepada 1,969,234 jiwa.
"Dan pendistribusian yang dilakukan anggota forum zakat senantiasa mengacu kepada peraturan dan aspek syariah yang ditetapkan Kementerian Agama dan Baznas," tuturnya.
Forum Zakat, kata Bambang, mengapresiasi kepercayaan dan amanah yang dititipkan masyarakat kepada setiap anggota Forum Zakat yang ada. "Semoga hal tersebut dapat terus ditingkatkan seiring dengan upaya peningkatan standar OPZ dan mutu layanan kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan," ujarnya.
Menyikapi kasus ACT, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama (Kemenag), Tarmizi Tohor, mengimbau para pengurus Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga amil zakat (LAZ) untuk menghindari perilaku hedonisme yang dapat menyakiti hati umat Islam. "Seperti menunjukkan hidup yang bermewah-mewahan karena akan menimbulkan persepsi buruk dari publik," kata Tarmizi melalui pesan tertulis kepada Republika.
Tarmizi menjelaskan, Kemenag hanya mempunyai kewenangan terkait izin operasional lembaga pengelola dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) atas dasar surat rekomendasi dari Baznas. Sementara dalam kasus lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang saat ini jadi sorotan publik adalah wewenang dari Kementerian Sosial (Kemensos). Karena yang mengeluarkan izin untuk ACT adalah Kemensos.
Tarmizi menambahkan, Kemenag terus berupaya untuk memberikan jaminan keamanan terhadap pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah yang dilakukan Baznas dan LAZ melalui audit kepatuhan syariah. "Hal ini dilakukan agar jangan ada lagi penyelewengan dana zakat, infak dan sedekah yang telah dipercayakan oleh umat kepada lembaga pengelola zakat," ujar Tarmizi.
Forum Zakat (FOZ) juga ikut menyikapi liputan khusus media terkait fenomena pengelolaan dana kedermawanan sosial keagamaan. FOZ menyatakan ACT bukan bagian dari organisasi pengelola zakat.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan, perlu adanya kehati-hatian berganda dalam pengelolaan zakat oleh LAZ. "Dalam pengelolaan LAZ, terdapat dua kompetensi yang harus dipenuhi yaitu kompetensi syariah dan kompetensi teknis," kata Kiai Niam, dilansir dari laman resmi MUI, Selasa (5/7/2022).
Menurutnya, hal tersebut berkaitan erat dengan pengelolaan zakat yang tidak lepas dari praktik ibadah dan muamalah. Kiai Niam mengatakan bahwa para pengelola harus memahami aspek ketentuan syariah terkait dengan zakat, seperti pelaku wajib zakat, jenis harta yang wajib dizakatkan, sasaran penerima zakat, hingga cara mengelola dan mendistribusikan dana yang terkumpul.
Ia menjelaskan, pada dimensi muamalah, pengelola dituntut kreatif dan berinovasi dalam mengelola dana yang diterima. Agar masyarakat dapat menerima manfaat yang optimal.
"Amil melakukan tugas keamilan untuk pengelolaan zakat berdasarkan amanah dan tanggung jawab yang telah diberikan. Adapun jika ia mendapat bagian dari zakat, hal tersebut merupakan bentuk kompensasi atas kerja profesionalitasnya," ujar Kiai Niam.
Kiai Niam mengimbau agar umat Islam harus dapat memastikan jika kewajibannya mampu terlaksana secara baik, khususnya terkait dengan kewajiban berzakat. “Apabila seorang Muslim telah memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, maka terdapat kewajiban untuk menunaikannya sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Islam," jelas Kiai Niam.