Ancaman Kehilangan Bahan Baku Hidangan Jepang

Penangkapan ikan yang berlebihan jadi salah satu penyebab penurunan produksi katsuo.

Antara/Adiwinata Solihin
Ikan cakalang. Jepang mulai kehilangan bahan baku hidangan khas.
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NAKATOSA -- Selama setengah abad, Takeo Nakajo telah menangkap katsuo atau ikan cakalang sangat diperlukan dalam masakan Jepang. Pengolahannya bisa dimakan mentah, dikeringkan, atau digunakan sebagai bahan dasar kaldu.

Baca Juga


Tapi Nakajo dan nelayan lain di Kure, di prefektur Kochi di barat daya Jepang, telah melihat sesuatu yang mengkhawatirkan dalam dua tahun terakhir. Peningkatan jumlah katsuo berlemak yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sementara katsuo yang lebih berat berarti lebih banyak uang, penduduk setempat dan para ahli mengatakan, itu menunjukkan perubahan iklim dan risiko jumlah katsuo yang sudah terancam. Peningkatan permintaan dan penangkapan ikan yang berlebihan menjadi alasan.

"Katsuo berlemak itu pasti ada hubungannya dengan suhu air. Saya memiliki rasa urgensi berpikir bagaimana jika katsuo tidak datang ke teluk suatu hari nanti," ujar nelayan berusia 70 tahun itu.

Kepala koki di restoran Tsukasa yang berusia seabad di Kota Kochi Noriaki Ito mengatakan, belum pernah melihat katsuo berlemak seperti itu selama musim tahun ini. Kondisi ini mengkhawatirkan karena perubahan laut dan iklim telah memusnahkan beberapa ikan lain, termasuk kerang yang disebut chambara-gai yang dulunya adalah spesialisasi Kochi.

Banyak nelayan yang gulung tikar di Kure di kota Nakatosa dalam tiga dekade terakhir. "Kami dapat membedakan rasa katsuo yang berbeda, seperti halnya petani Prancis biasa yang menikmati kehalusan anggur ... tempat ini mungkin merupakan salah satu komunitas terakhir di Jepang di mana katsuo adalah bagian dari budaya sehari-hari," ujar Takahiro Tanaka yang merupakan generasi keempat pemilik penjual ikan yang menyebut dirinya "katsuo sommelier".

Berasal dari perairan tropis, beberapa katsuo Pasifik bermigrasi ke utara melalui arus laut yang hangat setiap musim semi. Kondisi ini menjadikan teluk berbentuk busur Kochi sebagai tempat pemancingan yang subur.

Suhu permukaan rata-rata teluk di musim dingin, data lab perikanan setempat menunjukkan, telah meningkat dua derajat Celcius dalam empat dekade hingga 2015. Katsuo yang lebih gemuk mungkin karena banyak mangsa di laut yang lebih hangat.

Tapi dalam jangka panjang, pemanasan ini dapat mencegah air yang kaya mineral naik ke permukaan, mengakibatkan penurunan plankton dan ikan yang lebih kecil untuk dimakan. Ahli pertanian dan wakil presiden Kochi University Hiroyuki Ukeda mengatakan, kondisi itu menyebabkan lebih sedikit katsuo.

 

Penangkapan ikan yang berlebihan telah mencapai jumlah tangkapan yang memberikan pukulan bagi para nelayan di Kochi. Mereka tetap berpegang pada metode penangkapan ikan galah tunggal tradisional versus penangkapan ikan pukat skala besar di Pasifik barat.

Data pemerintah menunjukkan jumlah tangkapan di Kochi hanya seperempat dari puncak pada 1980-an. "Kami telah mengamati penurunan besar dalam pendaratan selama 10 tahun terakhir ini," kata Ukeda.

"Semakin banyak orang takut kita tidak bisa lagi makan katsuo dalam waktu dekat jika keadaan terus seperti ini," ujarnya.

Produksi katsuobushi, katsuo kering, dan fermentasi sudah mulai berkurang. Jumlah produsen katsuobushi di Kochi telah merosot dari puluhan sekitar empat puluh tahun yang lalu menjadi hanya beberapa.

"Saya benar-benar tidak yakin apakah kita bisa melanjutkan ini," kata Taichi Takeuchi yang menjalankan salah satu produksi olahan katsuno di kota Usa.

Wasabi, lobak pedas yang penting untuk makanan Jepang, terutama sashimi dan sushi, menghadapi tantangan produksi serupa. Topan dan kenaikan suhu telah merusak produksi di Okutama, daerah pegunungan di sebelah barat Tokyo.

"Saya sangat khawatir tentang masa depan pertanian kita," kata kepala asosiasi petani wasabi lokal Masahiro Hoshina.

Jumlah petani di daerah itu turun 75 persen dari 1950-an karena depopulasi. Jika tidak ada perubahan, beberapa pihak khawatir sushi itu sendiri bisa terancam punah.

 

"Kombinasi ikan mentah dan rempah-rempah seperti katsuo dan wasabi adalah seni, dan keduanya harus kita pertahankan. Saya tidak pernah ingin memikirkan masa depan tanpa mereka," kata Ukeda. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler