Vaksin Cacar Monyet Terbatas, Indonesia Pilih Antisipasi dengan Vaksin Cacar
Vaksin cacar monyet belum ada di Indonesia karena stok dunia sangat terbatas.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dea Alvi Soraya, Dian Fath Risalah
Meningkatnya status cacar monyet atau monkeypox sebagai kondisi darurat global membuat Indonesia turut waspada. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadpi Sadikin mengemukakan, vaksin cacar masih efektif memberikan perlindungan terhadap penerima manfaat dari risiko penularan penyakit cacar monyet.
"Monkeypox masih satu genus dengan cacar yang dulu yang smallpox. Jadi saya bilang ke para ahli, kalau kita pernah divaksin cacar pada tahun 1970-an atau kelahiran seperti saya, yang lansia-lansia itu imunitasnya ada dan (vaksin) cacar itu beda dengan Covid-19 yang turun setiap enam bulan," katanya, Selasa (26/7/2022).
Dia menjelaskan vaksin cacar memiliki kemampuan melindungi penerima manfaat seumur hidup. "Jadi, antibodinya ada seumur hidup. Buat yang sudah divaksinasi cacar maka relatif terlindungi, kemudian dari perawatannya sudah ada antivirusnya juga," katanya.
Budi mengatakan vaksin cacar menjadi salah satu dari tiga upaya Kementerian Kesehatan dalam mengendalikan penyakit cacar monyet yang berpotensi mewabah di dunia. Metode pengendalian penyakit yang saat ini menjangkiti 16 ribu pasien di 75 negara itu, diterapkan di Indonesia melalui penegakan disiplin protokol kesehatan, pemanfaatan alat polymerase chain reaction (PCR), hingga pengadaan obat-obatan.
"Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan sama, dengan menjaga prokes, surveilans dijaga, kalau bisa vaksinasi disiapkan dan pengobatannya," kata dia.
Kemenkes telah menyediakan 500 unit reagen PCR cacar monyet untuk kebutuhan surveilans di seluruh pintu masuk Indonesia, seperti bandara dan pelabuhan. Kemenkes juga sedang berupaya mendatangkan tambahan lebih banyak lagi reagen PCR secara impor untuk disebar ke seluruh provinsi di Indonesia pada bulan ini.
Terkait vaksin cacar monyet, kata dia, hingga saat ini belum tersedia di Indonesia sebab hanya ada di Amerika Serikat dan Rusia. Akan tetapi Kemenkes sedang berupaya mendatangkan obat-obatan untuk penyembuhan pasien cacar monyet di dalam negeri.
"Sekarang kita sedang dalam proses untuk mendatangkan obat-obat itu untuk datang ke Indonesia," ujarnya.
Budi mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap risiko penularan cacar monyet di dalam negeri. Alasannya, katanya, cacar monyet relatif lebih mudah dideteksi petugas kesehatan secara kasat mata melalui gejala yang timbul di permukaan kulit, seperti bintik kecil berisi cairan di tangan maupun wajah, perubahan warna kulit menjadi kemerahan, hingga pembengkakan di area selangkangan.
"Biar tidak khawatir, ini baru akan menular sesudah ada gejala, berbeda dengan Covid-19 yang bisa menular sebelum ada gejala, sedangkan cacar monyet gejala dulu di fisik, baru menular dan harus kontak fisik cairannya," katanya.
Di Indonesia pemeriksaan cacar monyet sudah dilakukan terhadap spesimen dari sembilan pasien dengan status suspek cacar monyet. Hasilnya semuanya negatif.
"Sampai saat ini sudah ada suspeknya sekitar sembilan pasien, tersebar di seluruh Indonesia. Tapi kita sudah tes di Jakarta dan semuanya menunjukkan hasil negatif," katanya.
Budi menambahkan, penyakit cacar monyet umumnya dialami oleh kelompok masyarakat tertentu, termasuk di antaranya kelompok pria penyuka sesama jenis. "Memang penularannya relatif tinggi, sama seperti HIV/AIDS," katanya.
Kemenkes pun mengaktifkan sistem surveilans dan melakukan pemantauan pada kelompok yang rentan tertular cacar monyet guna mencegah penularan penyakit tersebut.
Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Kesehatan Kota Bandung meyakinkan bahwa pengetatan pengawasan penyebaran cacar monyet tidak akan hanya difokuskan pada komunitas gay saja. Kepala Dinkes Kota Bandung Ahyani Raksanagara menegaskan bahwa virus ini menyebar bukan hanya dari manusia ke manusia, tapi juga dari hewan ke hewan dan hewan ke manusia.
“Tidak (hanya fokus pengetatan pada komunitas gay), jadi kita tetap meyakini bahwa wabah ini bermula dan menyebar dari hewan ke hewan, lalu hewan ke manusia, walaupun bisa juga dari manusia ke manusia dan ini tidak mesti tertular melalui hubungan seksual, karena cairan dari lesi (cairan dari bintik cacar) itu terkena atau terhirup maka bisa tertular,” jelas Ahyani saat dihubungi Republika, Selasa (26/7/2022).
Virus cacar monyet, kata Ahyani, dapat menyebar melalui kontak fisik maupun cairan droplet (cipratan liur dari hidung maupun mulut) dan cairan lesi pada kulit yang terkena cacar. Upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah dengan rajin mencuci tangan, memakai masker dan menghindari kontak fisik, kata Ahyani.
“Makanya kalau ada ruam di tubuh, rasa lemas atau kurang fit maka segera memeriksakan diri ke faskes terdekat, jadi supaya jangan menduga-duga saja karena ini gejalanya mirip cacar biasa,” sambungnya.
Dia juga menghimbau masyarakat yang kesehariannya harus melakukan kontak dengan hewan, agar senantiasa menjaga kebersihan dan menggunakan perlindungan lebih. Dia menegaskan, perlu adanya proteksi lebih di bagian-bagian tubuh yang menjadi gerbang masuknya virus.
“Intinya pencegatnya sesuai dengan jalannya masuk virus itu ke tubuh kita yaitu melalui saluran nafas dan cairan bintik cacarnya, jadi kurangi kontak fisik dan tingkatkan daya tahan tubuh,” imbaunya. “Tapi di kota Bandung sendiri belum ada laporan cacar monyet dan semoga jangan ada.”
Seorang pria gay berinisial S (31 tahun) menilai cacar monyet tidak perlu disikapi berlebihan. "Untuk sejauh ini menanggapi kasus penyakit tersebut (cacar monyet) bagi golongan orang-orang rentan seperti kami, menurut saya pribadi tidak terlalu menyikapi secara berlebihan. Karena pada dasarnya penyakit tersebut memang asalnya bukan dari pergaulan seks bebas," ujar warga Jakarta itu kepada Republika, Senin (25/7/2022).
Sunyoto tak memungkiri bila ada beberapa dari kelompok LGBT yang sering berganti pasangan. Dengan perilaku seperti itu, sangat mungkin dapat tertular cacar monyet.
Namun, lanjut Sunyoto, dirinya selalu mengantisipasi segala penyakit menular dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu antisipasi yang dilakukan untuk mencegah penularan monkeypox.
"Beberapa dari kami memang selalu cek rutin kesehatan dalam dua bulan sekali bahkan satu bulan sekali juga ada (saat pengambilan obat disertai konsultasi jika memang ada keluhan). Sehingga menurut saya sendiri antisipasinya seperti hal biasa yang dilakukan pada umumnya," tuturnya.
Menurut Sunyoto, kelompok LGBT rentan penyakit HPV atau kutil kelamin. "Itu yang lebih berbahaya dan rentan menularkan. Karena rata-rata orang yang mengidap HPV tidak sadar dan sering menularkan dan ujung2nya bisa sebagai pemicu positif HIV," tuturnya.
Perihal sikap pemerintah yang secara spesifik akan melakukan skrining terhadap kaum gay, Sunyoto mendukung penuh langkah tersebut. Hal ini lantaran banyak pula kelompok LGBT yang tidak mempedulikan status kesehatannya.
"Sebagai contoh masih banyak orang-oramg LGBT yang belum tahu status HIV-nya apakah terpapar atau tidak, sehingga yang sering gonta ganti pasangan jika sebenarnya sebagai pengidap HIV karena orang tersebut tidak pernah cek status HIV-nya sehingga menjadi pemicu kasus korban HIV yang semakin bertambah," ujarnya.
"Tetapi untuk orang-orang LGBT yang peduli akan kesehatan, walau sering gonta ganti pasangan ketika bertemu dengan pasangan baru yamg sudah ada tanda-tanda aneh misal ada penyakit gatal di kulit salah satu pasangan tersebut juga sudah dipastikan tidak akan melanjutkan apalagi sampai berhubungan," sambungnya.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Yayasan Rumah Sebaya, Darmawan menyatakan siap jika digandeng Kementerian Kesehatan untuk melakukan surveilans terhadap kelompok gay sebagai salah satu antisipasi terhadap penanganan cacar monyet. "Kami memang sudah biasa melakukan surveilans terhadap penyakit menular sperti HIV/AIDS, jadi bila dibutuhkan untuk monkeypox kami siap ya," ujarnya.
Menurut informasi yang disiarkan di laman resmi WHO, penyakit cacar monyet bisa menular dari binatang ke manusia melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, atau lesi kulit dan mukosa dari hewan yang terinfeksi virus penyebab cacar monyet. Sedangkan penularan cacar monyet dari manusia ke manusia bisa terjadi akibat kontak dengan sekresi saluran respirasi, lesi kulit dari orang yang terinfeksi, atau benda-benda yang terkontaminasi virus.
Menurut WHO, peningkatan kewaspadaan terhadap faktor-faktor risiko penularan penyakit dan edukasi masyarakat mengenai tindakan yang perlu dijalankan guna mengurangi risiko penularan virus merupakan strategi utama dalam pencegahan penularan cacar monyet.