Washington Kecewa dengan Pernyataan Abbas Soal Ketidakpercayaan Palestina pada AS

Abbas menyampaikan ketidakpercayaan Palestina pada AS dalam pertemuan dengan Putin.

Vyacheslav Prokofyev, Sputnik, Kremlin Pool P
Presiden Rusia Vladimir Putin, kanan, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbicara, selama pertemuan mereka di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Interaksi dan Langkah-langkah Membangun Kepercayaan di Asia (CICA), di Astana, Kazakhstan, Kamis, 13 Oktober 2022.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Washington sangat kecewa dengan pernyataan yang dibuat oleh Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas soal ketidakpercayaan Palestina kepada Amerika Serikat (AS) dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Abbas menyampaikan pernyataan tersebut ketika bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kazakhstan.

Baca Juga


"Kami sangat kecewa mendengar pernyataan Presiden Abbas kepada Presiden Putin. Rusia tidak mendukung keadilan dan hukum internasional, sebagaimana dibuktikan oleh pemungutan suara terbaru di Majelis Umum PBB," ujar juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, dilansir Middle East Monitor, Selasa (18/10/2022).

Pejabat AS berpendapat, pemerintahan Presiden Joe Biden telaah menyalurkan kembali dana bantuan senilai ratusan juta dolar kepada rakyat Palestina. Sebelumnya penyaluran dana bantuan ini telah dipotong oleh pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.

Abbas pada Kamis (13/10/2022) menyatakan ketidakpercayaannya atas peran Washington dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Amerika Serikat secara tradisional merupakan perantara utama untuk menengahi konflik Israel dan Palestina. Pernyataan Abbas muncul pada saat AS dan Rusia berselisih mengenai invasi Moskow ke Ukraina.

“Kami tidak mempercayai AS. Kami tidak menerima AS, dalam kondisi apa pun, (sebagai) satu pihak dalam menyelesaikan masalah Timur Tengah,” kata Abbas yang berbicara dalam bahasa Arab.

Abbad mengatakan, Palestina hanya akan mempertimbangkan mediasi AS jika itu adalah bagian dari kelompok mediasi internasional yaitu Kuartet Timur Tengah. Kelompok Kuartet ini terdiri dari Rusia, Amerika Serikat, PBB dan Uni Eropa.

Di sisi lain, Abbas justru memuji posisi Rusia terhadap rakyat Palestina. Menurutnya, Rusia berdiri dengan keadilan dan hukum internasional. 

"Rusia berdiri dengan keadilan dan hukum internasional dan itu sudah cukup bagi kami. Ketika Anda mengatakan Anda mendukung legitimasi internasional, ini sudah cukup bagi saya dan itulah yang saya inginkan. Oleh karena itu, kami senang dengan posisi Rusia," ujar Abbas.

Abbas menjadi salah satu dari sedikit pemimpin dunia yang duduk bersama Putin sejak Rusia melancarkan invasi terhadap Ukraina pada Februari. Pernyataan Abbas mencerminkan rasa frustrasinya terhadap AS, yang telah mundur dari mediasi intensif antara Israel dan Palestina. Sebaliknya, AS telah mengalihkan fokusnya ke isu-isu global mendesak lainnya seperti perang di Ukraina, hubungan dengan China dan ekonomi.

 

 

Komentar Abbas juga menyangkut krisis kepercayaan antara Palestina dan AS. Terutama setelah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump memotong dana untuk Palestina dan membuat kebijakan yang menguntungkan Israel. Salah satunya memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel ke kota Yerusalem yang diperebutkan, dan mengesahkan Kesepakatan Abraham yang menjadi landasan bagi Israel untuk menormalisasi hubungan dengan negara Arab. 

Pemerintahan Presiden Joe Biden telah memulihkan dana untuk Palestina, tetapi tetap mempertahankan kedutaan di Yerusalem. Biden juga belum berusaha untuk memulai kembali pembicaraan damai, dengan fokus pada tujuan yang lebih sederhana seperti meningkatkan ekonomi Palestina.

Menurut laporan Haaretz, Abbas menyadari bahwa pertemuannya dengan Putin mungkin dianggap bermasalah oleh Barat, terutama Washington.  Namun, dia merasa Palestina tidak punya banyak pilihan lagi.

Israel dan Palestina tidak mengadakan pembicaraan damai secara substantif dalam lebih dari satu dekade. Sementara pendudukan militer Israel atas tanah yang direbut dari warga Palestina telah berjalan selama 55 tahun. 

Sebelumnya AS telah menjadi pusat negosiasi. Washington menengahi kesepakatan perdamaian sementara pada 1990-an yang menciptakan Otoritas Palestina, yang kini dipimpin Abbas.

Otoritas Palestina yang diakui secara internasional, berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan dan membuat perjanjian damai yang dinegosiasikan untuk menciptakan negara Palestina merdeka bersama Israrl. Otoritas Palestina mengelola beberapa daerah otonom di wilayah pendudukan Tepi Barat. 

 

Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem timur dalam perang Timur Tengah 1967. Orang-orang Palestina menginginkan wilayah-wilayah itu untuk membentuk negara merdeka.

sumber : AP/Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler