Kenaikan Suku Bunga bisa Perkuat Rupiah

Ekonom ISED sebut kenaikan nilai suku bunga perkecil spread suku bunga the FED dan BI

ANTARA/Hafidz Mubarak A
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia dinilai sudah tepat di kondisi saat ini. Ekonom Institute of Social, Economic and Digital (ISED), Ryan Kiryanto menyampaikan kenaikan nilai suku bunga menjadi 4,75 persen akan memperkecil spread suku bunga bank sentral Amerika Serikat dan Indonesia.
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia dinilai sudah tepat di kondisi saat ini. Ekonom Institute of Social, Economic and Digital (ISED), Ryan Kiryanto menyampaikan kenaikan nilai suku bunga menjadi 4,75 persen akan memperkecil spread suku bunga bank sentral Amerika Serikat dan Indonesia.


"Kenaikan suku bunga acuan The Fed yang agresif itu membuat spread semakin tipis, inflasi juga tembus 6-7 persen, sementara jika menaruh uang di bank kita akan terkena negative interest rate karena suku bunga deposit rendah, orang beli dolar, rupiah melemah," katanya pada Republika, Kamis (20/10).

Kenaikan suku bunga dinilai baik untuk menjaga ekspektasi inflasi yang saat ini tinggi. Menurutnya, investor masih terus menunggu kenaikan lagi suku bunga acuan.

Ia memproyeksi kenaikan suku bunga BI tidak akan berhenti di saat ini, dan tidak akan lagi terlalu agresif. Mengingat The Fed juga agresif menaikan suku bunga acuan yang dia perkirakan pada akhir tahun ini di level 4,25-4,5 persen.

"Untuk BI, ada kans BI Rate di level 5,0-5,25 persen di akhir tahun untuk tekan ekspektasi inflasi, apalagi bulan Desember biasanya inflasi tinggi karena ada lonjakan konsumsi masyarakat menyambut Natal dan Tahun Baru," katanya.

Ia juga menilai, penguatan dolar AS yang sangat tinggi ini memang harus dilawan dengan jalur suku bunga. Untuk jangka pendek, BI memang sebagai otoritas moneter harus ada di garis depan.

"Kalau nanti suku bunga acuan bisa ke lima persen itu kita tidak usah kaget, itu normal, lumrah dan harus dilakukan, karena kenaikan kita dibanding negara lain itu kita masih takarannya moderat," katanya.

Sementara itu, Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip menyampaikan kebijakan kenaikan policy rate BI saat ini tidak semata karena untuk mengembalikan inflasi inti ke level sasaran 2-4 persen.

"Itu memang adalah sasaran akhirnya, tapi, BI juga memiliki sasaran antara atau intermediate targeting, yaitu untuk memberikan pemanis kepada investor portofolio agar mereka tidak melakukan capital outflow yang berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah," katanya pada Republika, Kamis (20/10).

Jika kebijakan ini berhasil menahan laju pelemahan nilai tukar maka ini bagus untuk menjaga fundamental. Namun bila ternyata tidak efektif, karena misalnya kenaikan policy rate di luar negeri lebih tinggi, maka kebijakan ini berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan.

Ini mengingat sejak dua bulan lalu, kebijakan kenaikan policy rate telah direspons oleh perbankan dengan menaikan suku bunganya. Baik suku bunga simpanan maupun kredit meskipun masih terbatas.

"Namun, dengan kenaikan policy rate secara hatrick hingga 125 bps, saya perkirakan kenaikan suku bunga perbankan akan meningkat khususnya bank-bank yang tidak terlalu “mewah” dalam penguasaannya terhadap likuiditas," katanya.

Ini berpotensi menurunkan laju pertumbuhan kredit yang hingga Juni lalu pertumbuhannya sudah di atas pertumbuhan dananya. Ia sendiri berharap, kebijakan kenaikan policy rate BI saat ini adalah yang terakhir, tidak berlanjut lagi di dua bulan sisa 2022.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler