BPOM Klaim Sudah Lakukan Pengawasan Obat Secara Ketat
BPOM menuding industri farmasi tidak melaporkan perubahan proses atau bahan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepala BPOM, Penny Lukito mengeklaim pengawasan yang selama ini berjalan telah dilakukan secara ketat dan komprehensif. Baik pada sektor pre-market dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia.
Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan pada produk obat yang diminum. Sebab, cemaran EG/DEG pada obat dimungkinkan ada dalam batas tertentu, berasal dari pelarut Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol dan Gliserin/Gliserol.
Diduga, cemaran itu mengakibatkan gagal ginjal pada anak-anak. “Sebagaimana diketahui bahwa ketika fasilitas produksi dari industri farmasi telah mendapatkan sertifikat CPOB dari BPOM maka berdasarkan persyaratan yang berlaku, industri farmasi seharusnya melakukan inspeksi terhadap seluruh proses dan bahan yang dipergunakan dalam proses produksi termasuk sumber bahan baku," tutur Penny Lukito dalam keterangan, Selasa (1/11/2022).
"Apabila terdapat perubahan proses dan atau bahan yang digunakan berbeda dengan dokumen sebelumnya maka wajib melaporkan ke BPOM. Namun yang terjadi di lapangan, mereka tidak melaporkan,” sambungnya.
Sebelumnya, pada Senin (31/10/2022), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyambangi kantor BPOM RI. Dalam kunjungannya, Menko PMK mengecek langsung pengujian obat sirup yang diduga mengandung EG/DEG.
"Saya sudah melihat langsung proses pengujian di laboratorium BPOM terhadap beberapa obat terutama sirup yang diduga kuat mengandung EG dan EDG,” kata Muhadjir.
Ia menyebut, kasus obat yang mengandung bahan pelarut yang melebihi ambang batas harus ditindaklanjuti, apakah merupakan cemaran atau ada kesengajaan.
“Karena sejak dari sananya bahan penolong ini cukup tinggi dosisnya. Secara detail tadi dapat informasi dari lab, itu kandungannya bisa dilihat berapa ambang batas minimumnya," tutur Muhadjir.
Hal ini menurutnya bisa dijadikan dasar dan alat bukti untuk menjelaskan siapa yang bisa dikenakan tindak pidana. "Saya yakin semua langkah BPOM sudah tepat, terukur dan sistemis untuk memastikan siapa yang salah dan siapa yang terimbas pengaruh akibat kasus ini,” tuturnya.
Menko PMK berharap kasus ini segera terbuka, agar para pelaku usaha industri yang terkena imbas penahanan produk terutama yang sudah baik dan patuh, bisa segera dipulihkan kembali.