DPR Harap RKUHP Sah Tahun Ini

Komisi III terus melakukan harmonisasi agar terciptanya payung hukum pidana yang baik

DPR RI
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, penundaan rapat pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terjadi karena masih adanya sinkronisasi dari pemerintah. (iilustrasi)
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, penundaan rapat pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terjadi karena masih adanya sinkronisasi dari pemerintah. Namun, Komisi III DPR disebutnya berharap RKUHP dapat disahkan tahun ini.

"Semangatnya temen-temen komisi teknis dalam hal ini Komisi III ingin sekali pengesahan RKHUP dapat dilakukan dalam masa sidang ini," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (21/11/2022).

Berbekal semangat tersebut, Komisi III disebutnya terus melakukan harmonisasi agar terciptanya payung hukum pidana nasional yang baik. Sekali lagi, harapannya adalah agar RKUHP dapat disahkan menjadi undang-undang pada tahun ini.

"Saya pikir nanti kalau beberapa hal yang tadinya belum sepakat, sudah disepakatin tentunya ya tidak perlu lama-lama untuk melakukan sosialisasi kepada presiden. Agar apa yang ditunggu-tunggu ini bisa segera terealisasi," ujar Dasco.

Adapun pada rapat bersama Kemenkumham pada 3 dan 9 November 2022, masih terdapat sejumlah isu krusial yang harus dikaji pemerintah dan Komisi III. Beberapa di antaranya adalah living law yang berpotensi melanggar asas legalitas dalam hukum pidana atau nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli.

"Pasal-pasal terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat yang harus dibatasi pengertiannya. (Seperti) makar, penyerangan kehormatan harkat martabat presiden/wapres, penghinaan lembaga negara, penghinaan kekuasan umum," ujar anggota Komisi III Taufik Basari.

Selanjutnya adalah contempt of court terkait publikasi persidangan dan rekayasa kasus sebagai usulan baru yang belum ada di draf RKUHP. Lalu, pidana terkait narkotika yang harus disesuaikan dengan rencana kebijakan narkotika baru dalam RUU Narkotika.

Kemudian, pidana lingkungan hidup yang harus menyesuaikan administrasi dalam hukum lingkungan dan pemenuhan asas non-diskriminasi bagi penyandang disabilitas dan penyesuaian nomenklatur. Terakhir, kohabitasi yang menjadi over kriminalisasi karena bukan menjadi ranah negara untui menjadikannya sebagai pidana.

"Bagaimanapun proses legislasi merupakan proses politik juga, sehingga harus ada proses pertarungan gagasan dan penghormatan atas keputusan yang nantinya diambil baik secara musyawarah maupun suara terbanyak," ujar Taufik.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler