Perempuan Dilarang Kuliah, 35 Universitas di Afghanistan Berisiko Tutup

Taliban mengumumkan larangan bagi kaum perempuan Afghanistan untuk berkuliah.

AP/Ebrahim Noroozi
Seorang pejuang Taliban berjaga-jaga ketika seorang wanita berjalan melewati Kabul, Afghanistan, Senin, 26 Desember 2022. Keputusan Taliban baru-baru ini terhadap wanita Afghanistan termasuk larangan pendidikan universitas dan bekerja untuk LSM, yang memicu protes di kota-kota besar. Keamanan di ibu kota Kabul semakin intensif dalam beberapa hari terakhir, dengan lebih banyak pos pemeriksaan, kendaraan bersenjata, dan pasukan khusus Taliban di jalanan. Pihak berwenang belum memberikan alasan untuk keamanan yang lebih ketat.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Setidaknya 35 universitas di Afghanistan berisiko tutup akibat kebijakan Taliban melarang perempuan berkuliah. Hal itu secara langsung memangkas pemasukan bagi universitas dan lembaga pendidikan tinggi lain yang mayoritas mahasiswanya adalah perempuan.

Baca Juga


“Saat ini, 30 hingga 35 universitas menghadapi masalah ekonomi yang besar,” kata Mohammad Karim Nasiri, petugas media di Union of Private Universities atau Persatuan Universitas Swasta di Afghanistan saat diwawancara Tolonews, Selasa (27/12/2022).

Dia mengungkapkan, banyak lembaga pendidikan tinggi lainnya akan tutup karena masalah ekonomi akibat perempuan dilarang menghadiri kelas. Pendiri Mura Educational Center, Azizullah Amir, mengatakan, pusat pendidikan yang didirikannya dipastikan tutup jika Taliban tak mencabut larangan perempuan Afghanistan berkuliah.

“Tidak ada laki-laki di pusat pendidikan ini (Mura Educational Center). Jika pelaksanaan perintah ini (larangan perempuan berkuliah) berlanjut, kami wajib menutup pintu dari pusat ini,” ujar Amir.

Sementara itu, Wakil Rektor Dawat University Khalil Hadaf mengungkapkan, saat ini kampusnya tertutup untuk perempuan. “Tapi kami melihat penutupan universitas (bagi perempuan) hanya sementara. Kami berharap universitas akan dibuka kembali dan para mahasiswa melanjutkan pendidikan mereka,” katanya.

Menurut Persatuan Universitas Swasta di Afghanistan, saat ini terdapat 140 universitas swasta di negara tersebut. Sementara itu, juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi Taliban Ziaullah Hashimi mengungkapkan, pihaknya sedang berupaya menyelesaikan masalah yang dihadapi universitas-universitas di Afghanistan. “Kami berusaha meringankan prinsip kami dan memberikan layanan kepada universitas dan memecahkan masalah yang menyebabkan hambatan bagi universitas,” ujarnya.

Dia tak mengungkap detail upaya yang tengah ditempuh Taliban. Pada 22 Desember lalu, Taliban mengumumkan larangan bagi kaum perempuan Afghanistan untuk berkuliah. Menteri Pendidikan Tinggi Taliban Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan itu diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus melanggar prinsip-prinsip Islam.

“Para perempuan belajar tentang pertanian dan teknik, tetapi ini tidak sesuai dengan budaya Afghanistan. Anak perempuan harus belajar, tetapi tidak di bidang yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afghanistan," kata Nadim dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Afghanistan, 22 Desember lalu.

Dia menjelaskan, pemerintahan Taliban sedang berusaha mengatur ulang hal tersebut. Jika pengaturan baru sudah tersedia, kaum perempuan di Afghanistan akan diizinkan kembali untuk berkuliah. Nadim pun menolak kecaman yang telah dilayangkan sejumlah negara terkait pelarangan berkuliah bagi perempuan yang kini tengah diterapkan, termasuk dari sejumlah negara Muslim. Ia mengatakan, pihak asing harus berhenti mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan.

Sejumlah negara Muslim seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Turki, termasuk Indonesia, telah mengkritik langkah Taliban melarang kaum perempuan Afghanistan berkuliah. PBB serta sejumlah negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris turut mengecam kebijakan Taliban tersebut.  

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler