Sidang Helikopter AW-101, Hakim: Marsekal Agus Langgar Perintah Jenderal Gatot
KSAU periode 2015-2017 ini memaksakan membeli helikopter produk Leonardo.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2015-2017, Marsekal (Purn) Agus Supriatna disebut pernah melanggar instruksi Panglima TNI periode 2015-2017 Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo agar membatalkan pembelian helikopter AW-101.
Hakim menyebut, Agus malahan memaksakan pembelian produk Leonardo asal Italia melalui anak perusahaan Agusta Westland (AW) tersebut. Fakta itu diketahui setelah disampaikan oleh hakim dalam pembacaan pertimbangan hukum vonis kasus heli AW-101 di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (22/2/2023).
Kasus itu menjerat Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway sebagai terdakwa tunggal. Adapun Agus Supriatna terus mangkir dari pemeriksaan KPK, meski lembaga antirasuah tersebut telah berulang kali meminta bantuan Panglima TNI untuk menghadirkan KSAU ke-20 tersebut.
"Bahwa setelah dilakukannya penandatanganan kontrak Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 antara TNI AU dengan PT Diratama Jaya Mandiri, pada tanggal 14 September 2016 Panglima TNI mengirimkan surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dengan Nomor: B/4091/IX/2016 perihal pembatalan kontrak terkait pengadaan helikopter angkut AW-101 yang menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pengadaan helikopter angkut AW-101 yang dilakukan Mabes TNI AU melalui Kontrak Nomor: KJB/300/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 bertentangan dengan undang-undang dan peraturan pengadaan serta arahan presiden RI sehingga memerintahkan agar membatalkan kontrak tersebut," kata hakim Djuyamto dalam persidangan tersebut.
Agus Supriatna disebut hakim mengabaikan perintah Gatot Nurmantyo yang saat itu menjabat Panglima TNI. Agus justru menerbitkan disposisi kepada bawahannya agar melanjutkan proyek itu.
"Namun, atas surat tersebut, Agus Supriatna tidak bersedia membatalkan kontrak dan memberikan disposisi kepada Wakil KSAU, Asrena KSAU, Aslog KSAU, dan Kadisadaau dengan tulisan 'ini system APBN 2016 yang sudah harus dieksekusi dan sudah turun DIPA TNI AU, untuk siapkan dokumen-dokumen dalam kesiapan menjawab masalah tersebut'," ujar Djuyamto.
Dalam kasus itu, Direktur DJM, John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh divonis hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar dalam perkara itu. Irfan juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 17,22 miliar.
Vonis terhadap John Irfan Kenway lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu pidana penjara selama 15 tahun. Vonis uang pengganti juga jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yaitu Rp 177 miliar.
John Irfan Kenway divonis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.