Perludem Sebut Bukan Ranah MK Putuskan Sistem Proporsional Pemilu

Perludem mengingatkan perdebatan sistem proporsional jadi celah isu penundaan pemilu.

Republika/ Wihdan
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat konferensi terkait penyelenggaraan Pilkada di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (30/8).
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menilai tak tepat jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem proporsional untuk pemilu yang tepat sesuai konstitusi. Ia menegaskan hal ini bukan ranah MK.

"MK tidak bisa sampai mengatakan yang mana yang konstitusional, MK tidak bisa masuk pada memutuskan mana yang konstitusional," ujar Khoirunnisa di Kantor DPP Relawan Pro Jokowi (Projo), Jakarta, dikutip Sabtu (25/2/2023).

Ia menuturkan, MK hanya dapat masuk dalam menentukan prinsip apa saja yang perlu terpenuhi dalam pemilu. Sebab, perubahan sistem pencoblosan haruslah melalui revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Jadi ini bukan tempatnya MK, karena mengubah sistem pemilu itu harus melalui perubahan UU Pemilu, revisi UU Pemilu dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Termasuk ada partisipasi publik di dalamnya," ujar Khoirunnisa.

"Karena kalau melalui MK, kita sebagai publik partisipasinya terbatas, partisipasinya hanya mengajukan diri sebagai pihak terkait," kata dia menambahkan.

Di samping itu, ia tak ingin perdebatan tentang sistem proporsional terbuka atau tertutup menjadi celah kembalinya isu penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, tahapan kontestasi sudah berjalan dan pencoblosannya akan terlaksana kurang dari setahun lagi.

"Semua sudah dikerahkan, semua sudah bersiap, ya tadi ini tahapan yang sudah berjalan harus bisa diprediksi dan itu menurut kami harus berjalan tepat waktu. Jangan ada polemik-polemik lain yang bisa mengganggu jalannya tahapan pemilu," ujar Khoirunnisa.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan, perubahan mekanisme Pemilu 2024 dapat dilakukan lewat tiga hal. Yakni revisi UU Pemilu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), atau putusan MK. Ia pun berharap MK dapat bersikap netral ketika menerima permintaan judicial review (JR) terhadap UU Pemilu, khususnya terkait sistem proporsional terbuka.

"Saya juga berharap MK juga dapat mengambil posisi yang netral, objektif, dan memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks dan pada pembahasannya dilakukan kajian yang cukup mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup panjang," ujar Doli.

Ia menjelaskan, perubahan mekanisme pemilu akan berpengaruh terhadap pasal lain dalam UU Pemilu. Di samping itu, pembahasannya harus melewati proses kajian dan diskusi yang sangat panjang.

Sebab, UU Pemilu juga berkaitan langsung dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Serta, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

"Antara satu pasal dengan pasal yang lain sangat terkait dan mencerminkan kemajuan sistem politik dan demokrasi kita. Jadi kalaupun mau dirubah, harus melalui revisi UU yang harus dilakukan kembali lagi kajian yang serius, karena itu akan menyangkut masa depan sistem politik dan demokrasi Indonesia," ujar Doli.

Di samping itu, misal MK mengabulkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka, hal tersebut hanya akan menimbulkan kerumitan baru. Hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Pemilu 2024.

"Hukum Pemilu kita seperti tambal sulam, tidak mencerminkan bangunan sistem politik yang establish dan futuristik. Itu yang harus menjadi dipertimbangkan oleh MK," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler