Projo Akui Ada Celah Penundaan Pemilu Jika MK Putuskan Perubahan Proporsional
Projo berharap tahapan pemilu yang sudah berlangsung terganggu putusan MK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Relawan Pro Jokowi (Projo) menolak perubahan sistem proporsional terbuka ke tertutup dalam Pemilu 2024. Sebab, perubahan lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan membuka celah untuk menunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Apabila ditetapkan dengan sistem tertentu, kemudian nanti dan harus melakukan perubahan terhadap undang-undang segala macam, maka itu menjadi pintu masuk atau celah, sehingga memungkinkan terjadinya penundaan pemilu, itu kekhawatiran," ujar Sekretaris Jenderal Projo, Handoko dalam konferensi persnya di Kantor DPP Projo, Jakarta, dikutip Sabtu (25/2/2023).
Ia mengatakan, saat ini terdapat gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK. Jika MK mengabulkan gugatan tersebut, ada peluang besar bahwa Pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup.
Artinya masyarakat Indonesia tak akan lagi memilih calon legislatifnya, melainkan hanya mencoblos partai politiknya saja. Selanjutnya, partai politiklah yang akan menunjuk siapa kader yang akan menduduki kursi legislatif.
"Terserah mau diputuskan terbuka atau tertutup, yang penting tidak mengganggu jadwal Pemilu 14 Februari 2024, tapi (perubahan) jangan 2024, nanti 2029 atau setelahnya. Sehingga tidak mengganggu proses pemilu yang sudah kita mulai jalankan tahapannya," ujar Handoko.
Ia berharap, MK dapat melihat bahwa tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dan pelaksanaannya kurang dari setahun lagi. Jangan sampai, tahapan yang saat ini tengah berlangsung terganggu oleh putusan MK yang mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup.
"Kami mengingatkan bahwa bagi kami isu pemilu harus berjalan sesuai schedule, sesuai jadwal itu harga mati dan MK jangan sampai membikin keputusan yang menjadi pintu masuk bagi penundaan pemilu," ujar Handoko.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menjelaskan, perubahan mekanisme Pemilu 2024 dapat dilakukan lewat tiga hal. Yakni revisi UU Pemilu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), atau putusan MK. Ia pun berharap MK dapat bersikap netral ketika menerima permintaan judicial review (JR) terhadap UU Pemilu, khususnya terkait sistem proporsional terbuka.
"Saya juga berharap MK juga dapat mengambil posisi yang netral, objektif, dan memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks dan pada pembahasannya dilakukan kajian yang cukup mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup panjang," ujar Doli.
Ia menuturkan, perubahan mekanisme pemilu akan berpengaruh terhadap pasal lain dalam UU Pemilu. Di samping itu, pembahasannya harus melewati proses kajian dan diskusi yang sangat panjang.
Sebab, UU Pemilu juga berkaitan langsung dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Serta, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
"Antara satu pasal dengan pasal yang lain sangat terkait dan mencerminkan kemajuan sistem politik dan demokrasi kita. Jadi kalaupun mau dirubah, harus melalui revisi UU yang harus dilakukan kembali lagi kajian yang serius, karena itu akan menyangkut masa depan sistem politik dan demokrasi Indonesia," ujar Doli.
Di samping itu, misalkan MK mengabulkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka, hal tersebut hanya akan menimbulkan kerumitan baru. Hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Pemilu 2024.
"Hukum Pemilu kita seperti tambal sulam, tidak mencerminkan bangunan sistem politik yang establish dan futuristik. Itu yang harus menjadi dipertimbangkan oleh MK," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.